Oleh Adie Marzuki
Tujuan Berdirinya Republik Indonesia
Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini didirikan, yang secara resmi
dicantumkan dalam konstitusi Negara sebagai kontrak sosial institusi Negara
dengan seluruh entitas bangsa, adalah untuk membentuk suatu Pemerintahan yang
melindungi segenap rakyatnya, memajukan kesejahteraan rakyatnya, mencerdaskan
rakyatnya, serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
negerinya. Dalam mencapai tujuan ini, telah disepakati dalam konstitusi
tersebut untuk menempuh sebuah jalan yang pada dasarnya bertumpu kepada konsep
Kedaulatan Rakyat, atau yang umum disebut dengan demokrasi. Baik dalam hal
politik maupun ekonomi, jalan yang disepakati para pendiri untuk ditempuh oleh
Negara adalah Kedaulatan Rakyat, atau demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
Ketika mendirikan Negara ini, semangat para pendiri adalah menumbuhkan
demokrasi berdasarkan ikatan solidaritas kolektif untuk merdeka dan keutamaan
partisipasi politik rakyat yang jauh dari sistem ekonomi kapitalisme. Semangat
Negara untuk berperan aktif, tidak saja dalam wilayah politik namun juga sosial
ekonomi untuk memenuhi hajat hidup warganegaranya.
Definisi demokrasi politik yang dijabarkan dalam konstitusi tersebut mengacu
kepada suatu sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Merujuk kepada definisi itu, makna dari demokrasi ekonomi adalah suatu sistem
ekonomi, dimana permasalahan produksi adalah diselenggarakan oleh rakyat dan
untuk rakyat, dan karenanya mengandung pengertian partisipasi dan pemerataan.
Secara umum, demokrasi ekonomi itu mencakup aspek akses terhadap sumber daya
ekonomi, aspek tingkat pendapatan masyarakat, dan aspek partisipasi kaum
pekerja dalam kegiatan ekonomi. Dengan mengacu kepada tujuan berdirinya Negara
Kesatuan ini, maka terdapat pengertian bahwa nama Republik Indonesia adalah
sebuah sebutan bagi pencapaian cita-cita kesejahteraan segenap rakyat
didalamnya, berdasarkan kedaulatan rakyat yang berkeadilan sosial.
Demokrasi dan Sosialisme
Dalam kaidah ilmu pengetahuan mengenai kenegaraan, pencapaian cita-cita akan
masyarakat Indonesia yang adil, makmur, tanpa eksploitasi manusia dan sumber
daya alam seperti yang tersirat dan tersurat di dalam konstitusi, hanya dapat
diwujudkan melalui sebuah jalan yang disebut sosialisme. Kedaulatan rakyat
tanpa sosialisme tidak akan dapat mewujudkan keadilan sosial. Sedangkan
sosialisme tanpa demokrasi adalah kediktatoran, yang berarti masih terdapat
penindasan manusia. Dengan kata lain, sosialisme menekankan dan memperjuangkan
demokrasi di segala bidang kehidupan masyarakat, sebagai prakondisi terciptanya
masyarakat sosialis yang sejahtera dan berdaulat penuh. Dalam konteks ini,
demokrasi politik adalah pintu masuk ke arah pengembangan demokrasi di bidang
lain yang lebih mendasar sifatnya, seperti demokrasi ekonomi dan demokrasi
pendidikan.
Membangun masyarakat sosialis suatu bangsa harus diletakkan pada konteks
historisnya, berdasarkan situasi riil yang dihadapi dan sangat tergantung pada
tingkat perkembangan masyarakat suatu bangsa. Seperti yang sering dikatakan
para pemikir sosialis di dunia, tidak ada model yang baku dalam
mengimplementasikan sosialisme di setiap Negara, yang masing-masing memiliki
perbedaan karakteristik dan kultur. Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari
beragam kultur dan karakter geografis yang unik. Sejarah panjang bangsa yang
hidup di bumi Indonesia ini terdiri dari banyak kebudayaan dan etnis yang
beragam. Kebudayaan-kebudayaan tersebut tumbuh dalam sistem monarki yang antara
lain berbasis Hinduisme, sedikit Buddhisme, animisme dan agama Islam, yang
tersebar di seluruh kepulauan dalam teritori Indonesia.
Sosialisme
Kerakyatan
Berkembangnya sosialisme di Eropa pada mulanya adalah merupakan gerakan
buruh, yang muncul akibat terjadinya penindasan masyarakat kelas dominan atau
pemodal terhadap masyarakat kelas pekerja. Sedangkan sosialisme di Indonesia
tumbuh dalam masyarakat feudal yang kurang dapat menerima ide pertentangan
kelas. Munculnya sosialisme di Indonesia adalah lahirnya perlawanan kepada
sejarah feudalisme dan birokrasi feudal yang diciptakan pada era kolonial.
Faktor kebudayaan yang cenderung feudal dalam karakter Bangsa Indonesia
menyebabkan masyarakat justru terbiasa dengan struktur masyarakat dengan kelas
bertingkat, dan oleh karenanya tidak mampu menyerap substansi ajaran sosialisme
Marxis yang mengedepankan pertentangan kelas. Walaupun demi pencapaian
cita-cita bangsa ini tetap memerlukan proses revolusi diktum nilai-nilai secara
kognitif, namun untuk mengakomodir karakteristik rakyatnya, Indonesia perlu
mengembangkan sistem sosialisme sendiri yang berpihak pada kerakyatan dan
kemanusiaan.
Dari kondisi-kondisi tersebut, nyata terlihat bahwa prioritas obyek awal
revolusi di Indonesia adalah kesadaran manusia-manusia yang menjadi rakyatnya.
Kesadaran ini bukan hanya tentang kemanusiaan, tetapi kesadaran untuk berpikir
secara rasional, kritis dan berdaulat. Yaitu kedaulatan di semua bidang
kehidupan, kesamaan kesempatan serta kedudukan bagi seluruh rakyat, dan
mengedepankan hak-hak rakyat di atas segala kepentingan golongan atau individu.
Dalam hal ini, terlihat perlunya penegasan bahwa sosialisme yang paling ideal
bagi karakteristik dan psikografis rakyat Indonesia adalah sosialisme yang
berpegang pada asas persamaan derajat manusia, tanpa memandang perbedaan suku,
agama atau kelas social, yang oleh Soetan Sjahrir disebut dengan Sosialisme
Kerakyatan. Kerakyatan di sini mengandung makna perjuangan mengangkat nasib,
martabat dan harkat kaum yang lemah dalam posisi sebagai bangsa yang berdaulat.
Negara dan Pemimpinnya
Mengacu kepada hal-hal tersebut, maka Negara sebagai pembawa cita-cita
Sosialisme Kerakyatan harus mampu mengakomodir dinamika masyarakat dan
mengharmonisasikan sosio-diversifikasi yang ada di dalamnya. Fungsi Negara
sebagai perangkat institusi yang dibutuhkan oleh sebuah bangsa dalam mencapai
cita-cita bersama, harus juga peka terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang
berubah sesuai perkembangan jaman dan teknologi. Untuk tujuan tersebut, sudah
sewajarnya jika Negara Republik Indonesia yang membawa cita-cita kesejahteraan
dari segenap rakyatnya harus dipimpin oleh Pimpinan yang mampu
merepresentasikan setiap golongan atau kepentingan tanpa kecuali, dan lahir
dari kelompok-kelompok terbaik dalam masyarakat sosialis. Para Pimpinan
tersebut harus tersusun dalam sebuah sistem yang menjamin terlaksananya
desentralisasi pemerintahan agar dapat mewakili setiap kepentingan daerah
secara merata, dan terpilih oleh rakyat yang berdaulat.
Namun pada perkembangan selama 66 tahun sejak Indonesia diproklamirkan,
kondisi Negara saat ini telah melenceng jauh dari cita-cita pendiriannya. Di
era globalisasi saat ini, Indonesia hanyut terombang-ambing dalam tarik-menarik
hegemoni politik dan ekonomi antara Amerika Serikat dan Cina sebagai pemeran
utama baru di panggung dunia. Analisa kronologi mengenai hilangnya kedaulatan
tersebut dapat menyimpulkan bahwa Pemerintah sentralistik Indonesia yang
kekuasaannya sangat besar, lebih memilih pendekatan jalan pintas dalam
mengatasi permasalahan ekonomi. Langkah ini selain membawa pertumbuhan ekonomi
yang semu, juga mengantarkan Indonesia ke tangan imperialisme model baru
berbasis neoliberalisme. Akibatnya, sebagai kompensasi dari pertolongan tangan-tangan
neoliberalisme asing yang hanya untuk kepentingan sesaat, kedaulatan rakyat
Indonesia di berbagai bidang tergadaikan. Konsekuensi logis berikutnya adalah
adanya belenggu kapital dan kepentingan penguasa yang dengan ketat membatasi
peningkatan kualitas pemahaman dan pemerataan wawasan demokrasi dan sosialisme
dalam masyarakat dengan segala cara, demi mempertahankan stabilitas kekuasaan
tersebut.
Formalisme Negara
Kondisi ini telah menempatkan Indonesia pada posisi tanpa daya tawar dan
tanpa daya kompetitif dalam arus deras globalisasi yang masuk dari segala pintu
yang terbuka lebar. Indonesia tidak mampu memanfaatkan kondisi geopolitiknya
untuk mengambil posisi tawar. Kuantitas impor yang semakin hari semakin
meningkat, selain menciptakan ketergantungan yang tinggi terhadap Negara lain,
juga menghilangkan kemampuan dan potensi produksi nasional. Di sisi lain,
kekuasaan Pemerintah yang dibangun oleh sekelompok elit di masyarakat semakin
menguat. Dukungan dari kepentingan neoliberalis asing dibelakang Pemerintah
berhasil membangun hegemoni kekuasaan yang semakin menguat. Hegemoni yang
dibangun dengan cara merasuk ke alam bawah sadar mayoritas rakyat, dan memaksa
rakyat secara halus untuk menerima nilai-nilai moral, politik, prinsip ekonomi,
etika dan budaya, melalui cara yang sistematis. Salah satu cara yang ditempuh
adalah sistem formalisme yang melahirkan para pemegang titel dan melahirkan
kelompok rakyat informal dalam masyarakat. Formalisme oleh Negara adalah satu
bentuk imperialisme yang berbahaya.
Sementara intelektual saat ini terjebak dalam upaya untuk menyamakan antara
realitas bangsa Indonesia dengan negeri lain, dan tidak melakukan upaya serius
untuk mengidentifikasi karakteristik realitas nasional dan situasi konkret di
dalam negeri, golongan mayoritas yang terdiri dari kalangan rakyat informal
telah kehilangan kepercayaannya pada sistem kapitalis liberal yang diterapkan
Negara. Mereka tidak lagi percaya kepada kalangan intelektual yang kerap
mengacu pada praktik masa lalu untuk menjawab atau menyelesaikan tuntutan
praktis di masa sekarang, dan kelompok ini sudah hampir sampai di ujung
kesabarannya. Di sisi lain, kelompok masyarakat informal yang sederhana ini
kurang menyukai pendekatan ilmiah dan kurang minat terhadap ilmu pengetahuan,
sehingga mereka terjebak dalam situasi sulit tanpa solusi. Kelompok pembawa
kepentingan modal sangat memahami hal ini, dan mereka mampu mengambil
keuntungan secara optimal dari kurangnya wawasan masyarakat informal tersebut
untuk kemudian memarjinalkan kelompok mayoritas tersebut dari percaturan
ekonomi dan politik.
Masyarakat Informal
Ironinya, kelompok masyarakat pekerja informal ini adalah pelaku utama dalam
perekonomian yang semakin vital perannya, karena jumlah pekerja formal atau
buruh terus merosot, khususnya pekerja di sektor industri modern. Saat ini,
jumlah pekerja informal mencapai 70-80% dari keseluruhan pekerja. Sedangkan
pekerja di sektor manufaktur tidak melebihi 15 juta orang, dimana sekitar 55,21
juta orang atau 52,65 persen dari total angkatan kerja hanya mengantongi ijazah
Sekolah Dasar. Industrialisasi pendidikan telah menutup jalan rakyat mayoritas
untuk meraih kedaulatannya melalui pendidikan yang layak. Akibatnya, rakyat
terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan. Sementara Negara mendorong de-industrialisasi
dengan mendorong sebagian besar usaha ekonomi untuk bergerak pada sektor
informal dan Usaha Kecil Menengah yang terfragmentasi, yang lebih mirip dengan
ekonomi keluarga ketimbang ekonomi kapitalistis yang bertumpu pada industri
modern.
Kondisi tersebut diperburuk dengan tertutupnya akses permodalan bagi
masyarakat informal. Semangat kerakyatan yang dibawa dalam konstitusi Negara
tertutup dengan besarnya kepentingan sekelompok masyarakat elit yang didukung
oleh kepentingan asing yang lebih besar. Sistem formalisme yang dibentuk oleh
kelompok-kelompok kepentingan Neoliberal itu nyata-nyata sangat bertentangan
dengan semangat kerakyatan yang di cita-citakan Negara di awal pendiriannya.
Sistem ini membawa semangat buruk sangka terhadap rakyatnya sendiri, dan
mengutamakan kepentingan pemodal diatas segalanya, serta cenderung memposisikan
rakyat hanya sebagai obyek pertumbuhan modal, ketimbang subyek pembangunan
Negara. Rakyat kelas informal yang bercirikan kepemilikan kecil,
terfragmentasi, dan kurang politis ini terdiri antara lain mulai dari para
pedagang kaki lima, perdagangan kecil, pengrajin kecil, pertanian dalam skala
kecil, nelayan kecil, dan lain-lain sampai wiraswasta kelas menengah. Golongan
rakyat informal inilah yang paling menderita akibat penyelewengan cita-cita
Negara oleh sekelompok elit pembawa kepentingan pemodal serta aparat
politikusnya.
Kelompok Pembawa Kepentingan Modal
Kelompok elit pemodal ini menguasai kelompok-kelompok lain seperti
politikus, militer, organisasi masyarakat, sampai jajaran pemerintah pusat dan
daerah. Oleh karena itu mereka dengan mudah memproteksi kepentingan dan
modalnya melalui pembuatan kebijakan-kebijakan yang berindikasi anti-rakyat.
Kedaulatan rakyat yang menjadi salah-satu cita-cita utama berdirinya Negara ini
pun dapat dengan mudah digerus oleh mereka melalui hegemoni di segala bidang.
Sektor yang dikuasai pemodal seperti politik, industri informasi, industri
teknologi, sistem pemerintahan daerah, sampai ke industri mikro, membuat rakyat
semakin sulit melepaskan ketergantungannya terhadap para pemodal tersebut. Apa
yang telah nyata menjadi penyelewengan cita-cita bangsa ini adalah terjadinya
industrialisasi pendidikan, industrialisasi kesehatan, industrialisasi
keamanan, bahkan semakin jelas mengarah ke industrialisasi agama dan lain-lain
kebutuhan yang menjadi hak asasi manusia. Namun dengan cerdiknya mereka mampu
mempertahankan keberpihakan kelas menengah dengan segala cara, demi kestabilan
ekonomi dan politiknya. Cara-cara yang ditempuh seringkali adalah pembodohan,
penyanderaan masa depan, dan lain-lain cara yang membuat ketergantungan kelas
menengah terhadap pembawa kepentingan modal tersebut sulit dihilangkan. Jalan
bagi rakyat untuk mendapatkan kembali kedaulatannya telah ditutup dengan rapi
dan sistematis.
Dalam kondisi ini, revolusi social pun seperti bukan solusi yang tepat.
Fakta sejarah mengenai beberapa kali revolusi yang terjadi di masa lalu,
memperlihatkan kegagalan substansial yang terjadi. Revolusi hanya mampu
mengganti struktur pemerintahan, tetapi tidak mampu memberi solusi dari
permasalahan utama, yaitu adanya sistem yang menggerakkan arus modal dan
kepentingan segelintir elit untuk berkuasa di negeri ini. Faktor mendasar yang
selama ini terjadi adalah kurangnya pemahaman dan wawasan di masyarakat
mengenai arah dan proses pencapaian tujuan bangsa yang di cita-citakan. Reaksi
masyarakat yang didorong oleh emosi sesaat hanya mampu mendorong terjadinya
revolusi yang hanya merubah struktur, namun gagal mengganti sistem karena
kurangnya ilmu dan wawasan. Apa yang terjadi pada tahun 1966 dan 1998 adalah
contoh kongkrit bahwa diperlukan lebih dari sekedar revolusi fisik yang
bergelora untuk menahan arus kepentingan modal, yang sebetulnya menjadi inti
permasalahan. Peristiwa sejarah tersebut juga memberikan contoh kasus sempurna,
bahwa perjuangan tidak cukup dengan semangat saja, tapi haruslah dilaksanakan
dengan cerdas dan berintegritas.
Apakah Revolusi Menjadi Solusi?
Apakah masyarakat harus mengubur cita-cita yang dicanangkan diawal
berdirinya Negara ini? Tentunya tidak! Pertama-tama harus disadari bahwa
perjuangan mencapai tujuan tersebut lebih membutuhkan suatu kesabaran
revolusioner daripada sebuah revolusi fisik. Tetapi jika diperlukan, revolusi
fisik tidak ditabukan. Hanya persiapan kondisi subyektif masyarakat haruslah
matang dan benar-benar siap mengambil alih jalannya pemerintahan yang
benar-benar terputus dari jaringan arus modal. Rakyat haruslah dipersiapkan
untuk mengisi situasi pasca revolusi dengan konsep kenegaraan yang ideal, dan
para wakil-wakil rakyat yang diusung untuk mengambil alih jalannya roda
pemerintahan haruslah muncul dari kalangan rakyat itu sendiri, dan bersih dari
pengaruh kepentingan modal. Dalam hal ini, rakyat yang dimaksudkan adalah
keseluruhan rakyat dari segenap pelosok negeri.
Bagaimana jalannya proses pengkondisian subyek dan obyek revolusi yang
sesuai konsep kerakyatan itulah yang harus menjadi aspirasi dan semangat
masyarakat. Aspirasi dan semangat rakyat tersebut harus dibawa dalam sebuah
wadah yang tepat, yaitu wadah yang benar-benar memberikan komitmen 100 persen
bagi berlangsungnya jalan Sosialisme Kerakyatan, yang saat ini telah nyata
sebagai satu-satunya jalan ideal dalam proses meraih cita-cita kesejahteraan
bangsa ini. Beberapa tahapan ideal dalam situasi dan kondisi yang berkembang
saat ini mensyaratkan bentuk gerakan yang sistematis, terpola dan massif namun
terkoordinir. Tahapan yang ditujukan untuk membangun kesadaran masyarakat
secara massif untuk kembali mengusung cita-cita kesejahteraan rakyat yang berkeadilan
sosial, seperti yang dicanangkan diawal berdirinya Negara.
Tahapan Revolusioner
Tahapan awal yang harus dilewati adalah penyebaran wawasan dan proses
kristalisasi gagasan dalam sebuah kegiatan pendidikan kader Sosialisme
Kerakyatan yang matang, berintegritas dan berkomitmen tinggi terhadap cita-cita
bangsa. Kader-kader tersebut akan menjadi agen-agen perubahan di setiap entitas
yang diwakilinya, dan menjadi motor penggerak masyarakat yang memiliki
keterikatan emosional yang tinggi terhadap cita-cita bangsa. Kader-kader
tersebut dipilih dari daerah-daerah tingkat II yang nantinya akan dilatih untuk
memiliki rasa Kebangsaan, Kerakyatan, Kemandirian, Integritas, Militansi dan
berkarakter Problem Solver serta memiliki visi Negarawan.
Pembangunan Jalan Kerakyatan
Tahapan berikutnya adalah mendobrak sistem perindustrian dan formalitas
ekonomi yang ada dengan memberdayakan sector informal dan membangun
bisnis-bisnis jaringan, yang nantinya juga akan menjadi pendukung operasional
gerakan. Beberapa pilihan usaha yang ideal adalah yang berkaitan dengan
lingkungan, sesuai dengan visi rakyat sosialis yang tidak menghendaki
eksploitasi manusia dan sumber daya alam. Gagasan-gagasan seperti desalinasi
air laut untuk penyediaan air bersih bagi masyarakat pesisir pantai atau
pembangunan reactor mikro hidro untuk penyediaan tenaga listrik yang
berkelanjutan dan ramah lingkungan adalah pilihan utama. Bisnis-bisnis tersebut
akan dikelola dan dimiliki oleh rakyat setempat, dengan bantuan permodalan
serta teknologi yang dikoordinir oleh pusat gerakan. Dalam pelaksanaannya,
kegiatan ini juga membawa misi-misi penyadaran akan perlunya perhatian tarhadap
lingkungan, sebagai antisipasi perubahan iklim yang semakin menggejala.
Sementara itu, permasalahan-permasalahan dalam masyarakat yang timbul akibat
aspek hegemoni kepentingan modal harus diselesaikan dengan solusi-solusi yang
berdasarkan kerakyatan. Pengupayaan hal tersebut selain memperluas sebaran
pemahaman sosialistis dalam masyarakat, juga menjadi langkah taktis dalam mengkondisikan
masyarakat agar siap dengan antisipasi-antisipasi permasalahan yang bersumber
dari gagasan neoliberalisme. Untuk itu perlu dibangun sebuah lembaga pengkajian
ilmiah yang membahas permasalahan social dangan pendekatan Sosialisme
Kerakyatan. Lembaga ini akan terdiri dari sekelompok pemikir intelektual yang
bertugas menggali serta mengidentifikasi permasalahan kemasyarakatan yang
timbul akibat gesekan kepentingan dengan kaum neoliberalis. Hasil kajian
tersebut selain di carikan jalan pengimplementasiannya, juga diterbitkan dalam
bentuk tabloid, yang disirkulasikan ke pusat-pusat masyarakat di seluruh
negeri.
Lembaga Keuangan Mikro
Langkah taktis berikutnya adalah mengaktifkan para Kader yang telah siap
dengan tugas-tugas kemasyarakatan, untuk segera terjun ke organisasi-organisasi
masyarakat di daerahnya. Mereka akan mensosialisasikan gagasan Sosialisme
Kerakyatan dan membuat wacana-wacana solusi yang diperlukan oleh setiap
daerahnya masing-masing. Kegiatan ini bertujuan memperluas jejaring dan peningkatan
kualitas masyarakat daerah agar siap menghadapi perubahan social yang mungkin
terjadi akibat perubahan system yang sedang diperjuangkan. Dari perputaran
bisnis-bisnis yang terjadi di setiap daerah, harus dialokasikan beberapa bagian
keuntungan untuk pembentukkan suatu komunitas bisnis yang baru, melalui
komunitas masyarakat yang di pilih oleh Kader-Kader yang diterjunkan di
organisasi kemasyarakatan tersebut. Skema yang paling ideal adalah sebuah
lembaga keuangan mikro, yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tempat
organisasi masyarakat itu berada. Model yang saat ini berjalan di Sumatera
Barat adalah pilihan yang ideal.
Perputaran dana di setiap daerah tersebut kemudian dapat dimanfaatkan untuk
membangun bisnis-bisnis berikutnya, yang focus kepada penyediaan kebutuhan
dasar masyarakat. Alokasi tahapan berikutnya adalah membangun sekolah-sekolah
lanjutan yang memberi solusi pendidikan bagi rakyat informal di setiap daerah.
Pada tahapan ini, setiap kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan harus mendapatkan
akses pemberitaan di media masa local di setiap daerahnya. Kegiatan-kegiatan
tersebut akan membutuhkan sebuah wadah-wadah atau badan-badan hukum tersendiri,
yang dikhususkan untuk mengurusi setiap jenis kegiatan tersebut. Maka
pembentukan organisasi badan hukum seperti yayasan atau koperasi akan
diperlukan sebagai penanggung jawab hukum dari setiap kegiatan tersebut.
Mengembalikan Tujuan Negara
Ketika kegiatan yang berlangsung telah mencapai taraf kemandirian dan
kematangan masyarakat luas secara ekonomi, social dan politik, maka tunailah
revolusi kesadaran di masyarakat. Pada saat itu, kondisi politik dan ekonomi
dunia sangat menentukan langkah berikutnya. Pada suatu kondisi tertentu,
pencapaian gerakan masyarakat sudah cukup untuk mengambil alih jalannya roda
pemerintahan secara demokratis, tanpa revolusi fisik. Kondisi yang dimaksud
adalah melemahnya Negara-Negara pemain utama dunia, dan berkurangnya
ketergantungan Indonesia atas bantuan atau dukungan produksi dari luar. Dalam
kondisi tersebut, rakyat yang telah memiliki kesadaran serta wawasan yang cukup
akan memiliki juga kekuatan politik yang signifikan. Rakyat tersebut akan
sanggup mengembalikan cita-cita berdirinya bangsa ini ke tempatnya semula,
yaitu membentuk suatu Pemerintahan yang melindungi segenap rakyat Indonesia,
memajukan kesejahteraannya, mencerdaskannya, serta mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.