Home » » JALAN KERAKYATAN - Pemikiran Sjahrir Dalam Konteks Kekinian

JALAN KERAKYATAN - Pemikiran Sjahrir Dalam Konteks Kekinian

Written By __CunG__ on Tuesday, 26 June 2012 | 00:00

Oleh Adie Marzuki 



Tujuan Berdirinya Republik Indonesia


Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini didirikan, yang secara resmi dicantumkan dalam konstitusi Negara sebagai kontrak sosial institusi Negara dengan seluruh entitas bangsa, adalah untuk membentuk suatu Pemerintahan yang melindungi segenap rakyatnya, memajukan kesejahteraan rakyatnya, mencerdaskan rakyatnya, serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat negerinya. Dalam mencapai tujuan ini, telah disepakati dalam konstitusi tersebut untuk menempuh sebuah jalan yang pada dasarnya bertumpu kepada konsep Kedaulatan Rakyat, atau yang umum disebut dengan demokrasi. Baik dalam hal politik maupun ekonomi, jalan yang disepakati para pendiri untuk ditempuh oleh Negara adalah Kedaulatan Rakyat, atau demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Ketika mendirikan Negara ini, semangat para pendiri adalah menumbuhkan demokrasi berdasarkan ikatan solidaritas kolektif untuk merdeka dan keutamaan partisipasi politik rakyat yang jauh dari sistem ekonomi kapitalisme. Semangat Negara untuk berperan aktif, tidak saja dalam wilayah politik namun juga sosial ekonomi untuk memenuhi hajat hidup warganegaranya.


Definisi demokrasi politik yang dijabarkan dalam konstitusi tersebut mengacu kepada suatu sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Merujuk kepada definisi itu, makna dari demokrasi ekonomi adalah suatu sistem ekonomi, dimana permasalahan produksi adalah diselenggarakan oleh rakyat dan untuk rakyat, dan karenanya mengandung pengertian partisipasi dan pemerataan. Secara umum, demokrasi ekonomi itu mencakup aspek akses terhadap sumber daya ekonomi, aspek tingkat pendapatan masyarakat, dan aspek partisipasi kaum pekerja dalam kegiatan ekonomi. Dengan mengacu kepada tujuan berdirinya Negara Kesatuan ini, maka terdapat pengertian bahwa nama Republik Indonesia adalah sebuah sebutan bagi pencapaian cita-cita kesejahteraan segenap rakyat didalamnya, berdasarkan kedaulatan rakyat yang berkeadilan sosial.



Demokrasi dan Sosialisme


Dalam kaidah ilmu pengetahuan mengenai kenegaraan, pencapaian cita-cita akan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, tanpa eksploitasi manusia dan sumber daya alam seperti yang tersirat dan tersurat di dalam konstitusi, hanya dapat diwujudkan melalui sebuah jalan yang disebut sosialisme. Kedaulatan rakyat tanpa sosialisme tidak akan dapat mewujudkan keadilan sosial. Sedangkan sosialisme tanpa demokrasi adalah kediktatoran, yang berarti masih terdapat penindasan manusia. Dengan kata lain, sosialisme menekankan dan memperjuangkan demokrasi di segala bidang kehidupan masyarakat, sebagai prakondisi terciptanya masyarakat sosialis yang sejahtera dan berdaulat penuh. Dalam konteks ini, demokrasi politik adalah pintu masuk ke arah pengembangan demokrasi di bidang lain yang lebih mendasar sifatnya, seperti demokrasi ekonomi dan demokrasi pendidikan.


Membangun masyarakat sosialis suatu bangsa harus diletakkan pada konteks historisnya, berdasarkan situasi riil yang dihadapi dan sangat tergantung pada tingkat perkembangan masyarakat suatu bangsa. Seperti yang sering dikatakan para pemikir sosialis di dunia, tidak ada model yang baku dalam mengimplementasikan sosialisme di setiap Negara, yang masing-masing memiliki perbedaan karakteristik dan kultur. Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari beragam kultur dan karakter geografis yang unik. Sejarah panjang bangsa yang hidup di bumi Indonesia ini terdiri dari banyak kebudayaan dan etnis yang beragam. Kebudayaan-kebudayaan tersebut tumbuh dalam sistem monarki yang antara lain berbasis Hinduisme, sedikit Buddhisme, animisme dan agama Islam, yang tersebar di seluruh kepulauan dalam teritori Indonesia.


Sosialisme Kerakyatan                                                  


Berkembangnya sosialisme di Eropa pada mulanya adalah merupakan gerakan buruh, yang muncul akibat terjadinya penindasan masyarakat kelas dominan atau pemodal terhadap masyarakat kelas pekerja. Sedangkan sosialisme di Indonesia tumbuh dalam masyarakat feudal yang kurang dapat menerima ide pertentangan kelas. Munculnya sosialisme di Indonesia adalah lahirnya perlawanan kepada sejarah feudalisme dan birokrasi feudal yang diciptakan pada era kolonial. Faktor kebudayaan yang cenderung feudal dalam karakter Bangsa Indonesia menyebabkan masyarakat justru terbiasa dengan struktur masyarakat dengan kelas bertingkat, dan oleh karenanya tidak mampu menyerap substansi ajaran sosialisme Marxis yang mengedepankan pertentangan kelas. Walaupun demi pencapaian cita-cita bangsa ini tetap memerlukan proses revolusi diktum nilai-nilai secara kognitif, namun untuk mengakomodir karakteristik rakyatnya, Indonesia perlu mengembangkan sistem sosialisme sendiri yang berpihak pada kerakyatan dan kemanusiaan.


Dari kondisi-kondisi tersebut, nyata terlihat bahwa prioritas obyek awal revolusi di Indonesia adalah kesadaran manusia-manusia yang menjadi rakyatnya. Kesadaran ini bukan hanya tentang kemanusiaan, tetapi kesadaran untuk berpikir secara rasional, kritis dan berdaulat. Yaitu kedaulatan di semua bidang kehidupan, kesamaan kesempatan serta kedudukan bagi seluruh rakyat, dan mengedepankan hak-hak rakyat di atas segala kepentingan golongan atau individu. Dalam hal ini, terlihat perlunya penegasan bahwa sosialisme yang paling ideal bagi karakteristik dan psikografis rakyat Indonesia adalah sosialisme yang berpegang pada asas persamaan derajat manusia, tanpa memandang perbedaan suku, agama atau kelas social, yang oleh Soetan Sjahrir disebut dengan Sosialisme Kerakyatan. Kerakyatan di sini mengandung makna perjuangan mengangkat nasib, martabat dan harkat kaum yang lemah dalam posisi sebagai bangsa yang berdaulat.


Negara dan Pemimpinnya


Mengacu kepada hal-hal tersebut, maka Negara sebagai pembawa cita-cita Sosialisme Kerakyatan harus mampu mengakomodir dinamika masyarakat dan mengharmonisasikan sosio-diversifikasi yang ada di dalamnya. Fungsi Negara sebagai perangkat institusi yang dibutuhkan oleh sebuah bangsa dalam mencapai cita-cita bersama, harus juga peka terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang berubah sesuai perkembangan jaman dan teknologi. Untuk tujuan tersebut, sudah sewajarnya jika Negara Republik Indonesia yang membawa cita-cita kesejahteraan dari segenap rakyatnya harus dipimpin oleh Pimpinan yang mampu merepresentasikan setiap golongan atau kepentingan tanpa kecuali, dan lahir dari kelompok-kelompok terbaik dalam masyarakat sosialis. Para Pimpinan tersebut harus tersusun dalam sebuah sistem yang menjamin terlaksananya desentralisasi pemerintahan agar dapat mewakili setiap kepentingan daerah secara merata, dan terpilih oleh rakyat yang berdaulat.


Namun pada perkembangan selama 66 tahun sejak Indonesia diproklamirkan, kondisi Negara saat ini telah melenceng jauh dari cita-cita pendiriannya. Di era globalisasi saat ini, Indonesia hanyut terombang-ambing dalam tarik-menarik hegemoni politik dan ekonomi antara Amerika Serikat dan Cina sebagai pemeran utama baru di panggung dunia. Analisa kronologi mengenai hilangnya kedaulatan tersebut dapat menyimpulkan bahwa Pemerintah sentralistik Indonesia yang kekuasaannya sangat besar, lebih memilih pendekatan jalan pintas dalam mengatasi permasalahan ekonomi. Langkah ini selain membawa pertumbuhan ekonomi yang semu, juga mengantarkan Indonesia ke tangan imperialisme model baru berbasis neoliberalisme. Akibatnya, sebagai kompensasi dari pertolongan tangan-tangan neoliberalisme asing yang hanya untuk kepentingan sesaat, kedaulatan rakyat Indonesia di berbagai bidang tergadaikan. Konsekuensi logis berikutnya adalah adanya belenggu kapital dan kepentingan penguasa yang dengan ketat membatasi peningkatan kualitas pemahaman dan pemerataan wawasan demokrasi dan sosialisme dalam masyarakat dengan segala cara, demi mempertahankan stabilitas kekuasaan tersebut.


Formalisme Negara


Kondisi ini telah menempatkan Indonesia pada posisi tanpa daya tawar dan tanpa daya kompetitif dalam arus deras globalisasi yang masuk dari segala pintu yang terbuka lebar. Indonesia tidak mampu memanfaatkan kondisi geopolitiknya untuk mengambil posisi tawar. Kuantitas impor yang semakin hari semakin meningkat, selain menciptakan ketergantungan yang tinggi terhadap Negara lain, juga menghilangkan kemampuan dan potensi produksi nasional. Di sisi lain, kekuasaan Pemerintah yang dibangun oleh sekelompok elit di masyarakat semakin menguat. Dukungan dari kepentingan neoliberalis asing dibelakang Pemerintah berhasil membangun hegemoni kekuasaan yang semakin menguat. Hegemoni yang dibangun dengan cara merasuk ke alam bawah sadar mayoritas rakyat, dan memaksa rakyat secara halus untuk menerima nilai-nilai moral, politik, prinsip ekonomi, etika dan budaya, melalui cara yang sistematis. Salah satu cara yang ditempuh adalah sistem formalisme yang melahirkan para pemegang titel dan melahirkan kelompok rakyat informal dalam masyarakat. Formalisme oleh Negara adalah satu bentuk imperialisme yang berbahaya.


Sementara intelektual saat ini terjebak dalam upaya untuk menyamakan antara realitas bangsa Indonesia dengan negeri lain, dan tidak melakukan upaya serius untuk mengidentifikasi karakteristik realitas nasional dan situasi konkret di dalam negeri, golongan mayoritas yang terdiri dari kalangan rakyat informal telah kehilangan kepercayaannya pada sistem kapitalis liberal yang diterapkan Negara. Mereka tidak lagi percaya kepada kalangan intelektual yang kerap mengacu pada praktik masa lalu untuk menjawab atau menyelesaikan tuntutan praktis di masa sekarang, dan kelompok ini sudah hampir sampai di ujung kesabarannya. Di sisi lain, kelompok masyarakat informal yang sederhana ini kurang menyukai pendekatan ilmiah dan kurang minat terhadap ilmu pengetahuan, sehingga mereka terjebak dalam situasi sulit tanpa solusi. Kelompok pembawa kepentingan modal sangat memahami hal ini, dan mereka mampu mengambil keuntungan secara optimal dari kurangnya wawasan masyarakat informal tersebut untuk kemudian memarjinalkan kelompok mayoritas tersebut dari percaturan ekonomi dan politik.


Masyarakat Informal


Ironinya, kelompok masyarakat pekerja informal ini adalah pelaku utama dalam perekonomian yang semakin vital perannya, karena jumlah pekerja formal atau buruh terus merosot, khususnya pekerja di sektor industri modern. Saat ini, jumlah pekerja informal mencapai 70-80% dari keseluruhan pekerja. Sedangkan pekerja di sektor manufaktur tidak melebihi 15 juta orang, dimana sekitar 55,21 juta orang atau 52,65 persen dari total angkatan kerja hanya mengantongi ijazah Sekolah Dasar. Industrialisasi pendidikan telah menutup jalan rakyat mayoritas untuk meraih kedaulatannya melalui pendidikan yang layak. Akibatnya, rakyat terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan. Sementara Negara mendorong de-industrialisasi dengan mendorong sebagian besar usaha ekonomi untuk bergerak pada sektor informal dan Usaha Kecil Menengah yang terfragmentasi, yang lebih mirip dengan ekonomi keluarga ketimbang ekonomi kapitalistis yang bertumpu pada industri modern.


Kondisi tersebut diperburuk dengan tertutupnya akses permodalan bagi masyarakat informal. Semangat kerakyatan yang dibawa dalam konstitusi Negara tertutup dengan besarnya kepentingan sekelompok masyarakat elit yang didukung oleh kepentingan asing yang lebih besar. Sistem formalisme yang dibentuk oleh kelompok-kelompok kepentingan Neoliberal itu nyata-nyata sangat bertentangan dengan semangat kerakyatan yang di cita-citakan Negara di awal pendiriannya. Sistem ini membawa semangat buruk sangka terhadap rakyatnya sendiri, dan mengutamakan kepentingan pemodal diatas segalanya, serta cenderung memposisikan rakyat hanya sebagai obyek pertumbuhan modal, ketimbang subyek pembangunan Negara. Rakyat kelas informal yang bercirikan kepemilikan kecil, terfragmentasi, dan kurang politis ini terdiri antara lain mulai dari para pedagang kaki lima, perdagangan kecil, pengrajin kecil, pertanian dalam skala kecil, nelayan kecil, dan lain-lain sampai wiraswasta kelas menengah. Golongan rakyat informal inilah yang paling menderita akibat penyelewengan cita-cita Negara oleh sekelompok elit pembawa kepentingan pemodal serta aparat politikusnya.


Kelompok Pembawa Kepentingan Modal


Kelompok elit pemodal ini menguasai kelompok-kelompok lain seperti politikus, militer, organisasi masyarakat, sampai jajaran pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu mereka dengan mudah memproteksi kepentingan dan modalnya melalui pembuatan kebijakan-kebijakan yang berindikasi anti-rakyat. Kedaulatan rakyat yang menjadi salah-satu cita-cita utama berdirinya Negara ini pun dapat dengan mudah digerus oleh mereka melalui hegemoni di segala bidang. Sektor yang dikuasai pemodal seperti politik, industri informasi, industri teknologi, sistem pemerintahan daerah, sampai ke industri mikro, membuat rakyat semakin sulit melepaskan ketergantungannya terhadap para pemodal tersebut. Apa yang telah nyata menjadi penyelewengan cita-cita bangsa ini adalah terjadinya industrialisasi pendidikan, industrialisasi kesehatan, industrialisasi keamanan, bahkan semakin jelas mengarah ke industrialisasi agama dan lain-lain kebutuhan yang menjadi hak asasi manusia. Namun dengan cerdiknya mereka mampu mempertahankan keberpihakan kelas menengah dengan segala cara, demi kestabilan ekonomi dan politiknya. Cara-cara yang ditempuh seringkali adalah pembodohan, penyanderaan masa depan, dan lain-lain cara yang membuat ketergantungan kelas menengah terhadap pembawa kepentingan modal tersebut sulit dihilangkan. Jalan bagi rakyat untuk mendapatkan kembali kedaulatannya telah ditutup dengan rapi dan sistematis.


Dalam kondisi ini, revolusi social pun seperti bukan solusi yang tepat. Fakta sejarah mengenai beberapa kali revolusi yang terjadi di masa lalu, memperlihatkan kegagalan substansial yang terjadi. Revolusi hanya mampu mengganti struktur pemerintahan, tetapi tidak mampu memberi solusi dari permasalahan utama, yaitu adanya sistem yang menggerakkan arus modal dan kepentingan segelintir elit untuk berkuasa di negeri ini. Faktor mendasar yang selama ini terjadi adalah kurangnya pemahaman dan wawasan di masyarakat mengenai arah dan proses pencapaian tujuan bangsa yang di cita-citakan. Reaksi masyarakat yang didorong oleh emosi sesaat hanya mampu mendorong terjadinya revolusi yang hanya merubah struktur, namun gagal mengganti sistem karena kurangnya ilmu dan wawasan. Apa yang terjadi pada tahun 1966 dan 1998 adalah contoh kongkrit bahwa diperlukan lebih dari sekedar revolusi fisik yang bergelora untuk menahan arus kepentingan modal, yang sebetulnya menjadi inti permasalahan. Peristiwa sejarah tersebut juga memberikan contoh kasus sempurna, bahwa perjuangan tidak cukup dengan semangat saja, tapi haruslah dilaksanakan dengan cerdas dan berintegritas.


Apakah Revolusi Menjadi Solusi?


Apakah masyarakat harus mengubur cita-cita yang dicanangkan diawal berdirinya Negara ini? Tentunya tidak! Pertama-tama harus disadari bahwa perjuangan mencapai tujuan tersebut lebih membutuhkan suatu kesabaran revolusioner daripada sebuah revolusi fisik. Tetapi jika diperlukan, revolusi fisik tidak ditabukan. Hanya persiapan kondisi subyektif masyarakat haruslah matang dan benar-benar siap mengambil alih jalannya pemerintahan yang benar-benar terputus dari jaringan arus modal. Rakyat haruslah dipersiapkan untuk mengisi situasi pasca revolusi dengan konsep kenegaraan yang ideal, dan para wakil-wakil rakyat yang diusung untuk mengambil alih jalannya roda pemerintahan haruslah muncul dari kalangan rakyat itu sendiri, dan bersih dari pengaruh kepentingan modal. Dalam hal ini, rakyat yang dimaksudkan adalah keseluruhan rakyat dari segenap pelosok negeri.


Bagaimana jalannya proses pengkondisian subyek dan obyek revolusi yang sesuai konsep kerakyatan itulah yang harus menjadi aspirasi dan semangat masyarakat. Aspirasi dan semangat rakyat tersebut harus dibawa dalam sebuah wadah yang tepat, yaitu wadah yang benar-benar memberikan komitmen 100 persen bagi berlangsungnya jalan Sosialisme Kerakyatan, yang saat ini telah nyata sebagai satu-satunya jalan ideal dalam proses meraih cita-cita kesejahteraan bangsa ini. Beberapa tahapan ideal dalam situasi dan kondisi yang berkembang saat ini mensyaratkan bentuk gerakan yang sistematis, terpola dan massif namun terkoordinir. Tahapan yang ditujukan untuk membangun kesadaran masyarakat secara massif untuk kembali mengusung cita-cita kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial, seperti yang dicanangkan diawal berdirinya Negara.


Tahapan Revolusioner


Tahapan awal yang harus dilewati adalah penyebaran wawasan dan proses kristalisasi gagasan dalam sebuah kegiatan pendidikan kader Sosialisme Kerakyatan yang matang, berintegritas dan berkomitmen tinggi terhadap cita-cita bangsa. Kader-kader tersebut akan menjadi agen-agen perubahan di setiap entitas yang diwakilinya, dan menjadi motor penggerak masyarakat yang memiliki keterikatan emosional yang tinggi terhadap cita-cita bangsa. Kader-kader tersebut dipilih dari daerah-daerah tingkat II yang nantinya akan dilatih untuk memiliki rasa Kebangsaan, Kerakyatan, Kemandirian, Integritas, Militansi dan berkarakter Problem Solver serta memiliki visi Negarawan.


Pembangunan Jalan Kerakyatan


Tahapan berikutnya adalah mendobrak sistem perindustrian dan formalitas ekonomi yang ada dengan memberdayakan sector informal dan membangun bisnis-bisnis jaringan, yang nantinya juga akan menjadi pendukung operasional gerakan. Beberapa pilihan usaha yang ideal adalah yang berkaitan dengan lingkungan, sesuai dengan visi rakyat sosialis yang tidak menghendaki eksploitasi manusia dan sumber daya alam. Gagasan-gagasan seperti desalinasi air laut untuk penyediaan air bersih bagi masyarakat pesisir pantai atau pembangunan reactor mikro hidro untuk penyediaan tenaga listrik yang berkelanjutan dan ramah lingkungan adalah pilihan utama. Bisnis-bisnis tersebut akan dikelola dan dimiliki oleh rakyat setempat, dengan bantuan permodalan serta teknologi yang dikoordinir oleh pusat gerakan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini juga membawa misi-misi penyadaran akan perlunya perhatian tarhadap lingkungan, sebagai antisipasi perubahan iklim yang semakin menggejala.

Sementara itu, permasalahan-permasalahan dalam masyarakat yang timbul akibat aspek hegemoni kepentingan modal harus diselesaikan dengan solusi-solusi yang berdasarkan kerakyatan.  Pengupayaan hal tersebut selain memperluas sebaran pemahaman sosialistis dalam masyarakat, juga menjadi langkah taktis dalam mengkondisikan masyarakat agar siap dengan antisipasi-antisipasi permasalahan yang bersumber dari gagasan neoliberalisme. Untuk itu perlu dibangun sebuah lembaga pengkajian ilmiah yang membahas permasalahan social dangan pendekatan Sosialisme Kerakyatan. Lembaga ini akan terdiri dari sekelompok pemikir intelektual yang bertugas menggali serta mengidentifikasi permasalahan kemasyarakatan yang timbul akibat gesekan kepentingan dengan kaum neoliberalis. Hasil kajian tersebut selain di carikan jalan pengimplementasiannya, juga diterbitkan dalam bentuk tabloid, yang disirkulasikan ke pusat-pusat masyarakat di seluruh negeri.


Lembaga Keuangan Mikro


Langkah taktis berikutnya adalah mengaktifkan para Kader yang telah siap dengan tugas-tugas kemasyarakatan, untuk segera terjun ke organisasi-organisasi masyarakat di daerahnya. Mereka akan mensosialisasikan gagasan Sosialisme Kerakyatan dan membuat wacana-wacana solusi yang diperlukan oleh setiap daerahnya masing-masing. Kegiatan ini bertujuan memperluas jejaring dan peningkatan kualitas masyarakat daerah agar siap menghadapi perubahan social yang mungkin terjadi akibat perubahan system yang sedang diperjuangkan. Dari perputaran bisnis-bisnis yang terjadi di setiap daerah, harus dialokasikan beberapa bagian keuntungan untuk pembentukkan suatu komunitas bisnis yang baru, melalui komunitas masyarakat yang di pilih oleh Kader-Kader yang diterjunkan di organisasi kemasyarakatan tersebut. Skema yang paling ideal adalah sebuah lembaga keuangan mikro, yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tempat organisasi masyarakat itu berada. Model yang saat ini berjalan di Sumatera Barat adalah pilihan yang ideal.


Perputaran dana di setiap daerah tersebut kemudian dapat dimanfaatkan untuk membangun bisnis-bisnis berikutnya, yang focus kepada penyediaan kebutuhan dasar masyarakat. Alokasi tahapan berikutnya adalah membangun sekolah-sekolah lanjutan yang memberi solusi pendidikan bagi rakyat informal di setiap daerah. Pada tahapan ini, setiap kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan harus mendapatkan akses pemberitaan di media masa local di setiap daerahnya. Kegiatan-kegiatan tersebut akan membutuhkan sebuah wadah-wadah atau badan-badan hukum tersendiri, yang dikhususkan untuk mengurusi setiap jenis kegiatan tersebut. Maka pembentukan organisasi badan hukum seperti yayasan atau koperasi akan diperlukan sebagai penanggung jawab hukum dari setiap kegiatan tersebut.


Mengembalikan Tujuan Negara


Ketika kegiatan yang berlangsung telah mencapai taraf kemandirian dan kematangan masyarakat luas secara ekonomi, social dan politik, maka tunailah revolusi kesadaran di masyarakat. Pada saat itu, kondisi politik dan ekonomi dunia sangat menentukan langkah berikutnya. Pada suatu kondisi tertentu, pencapaian gerakan masyarakat sudah cukup untuk mengambil alih jalannya roda pemerintahan secara demokratis, tanpa revolusi fisik. Kondisi yang dimaksud adalah melemahnya Negara-Negara pemain utama dunia, dan berkurangnya ketergantungan Indonesia atas bantuan atau dukungan produksi dari luar. Dalam kondisi tersebut, rakyat yang telah memiliki kesadaran serta wawasan yang cukup akan memiliki juga kekuatan politik yang signifikan. Rakyat tersebut akan sanggup mengembalikan cita-cita berdirinya bangsa ini ke tempatnya semula, yaitu membentuk suatu Pemerintahan yang melindungi segenap rakyat Indonesia, memajukan kesejahteraannya, mencerdaskannya, serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.




Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. _..::IrFaN.MP::.._ - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger