REZIM PRO ASING,KHIANATI MANDAT RAKYAT
Keinginan Pemerintah untuk mencabut subsidi BBM
sebenarnya sudah terdengar sejak lama, namun keinginan itu baru
bersambut saat Anggota DPR kita pada Senin 17 Juni 2013 kemarin dengan
hasil voting juga menyetujui rencana pemerintah itu. Yang sebenarnya
sidang ketika itu adalah sebuah sandiwara politik belaka, karena
sesungguhnya pemerintah bisa saja kapanpun menaikkan harga BBM tanpa
melalui persetujuan dari DPR terlebih dahulu. Penulis melihat ini
hanyalah bagian dari sandiwara politik, dan teknik lobi pemerintah saja
agar mendapatkan tambahan anggaran untuk Bantuan Langsung Sementara
Masyarakat (BLSM). Karena kalau beracuan pada UU APBN 2013 yang di
sahkan DPR bahwa pemerintah bisa menyesuaikan harga BBM tanpa
persetujuan DPR.
Pemerintah beralasan kenaikan harga BBM dengan
mencabut subsidi BBM harus segera di lakukan mengingat subsidi terus
bertambah sehingga membebani APBN. Dengan kenaikan 2000 untuk premium
dan 1000 untuk bahan bakar jenis Solar, pemerintah berharap bisa
menghemat pengeluaran negara sebesar 21 trilyun.
Tidak cukup itu saja pemerintah juga beralasan
bahwa subsidi BBM selama ini tidaklah tepat sasaran, seharusnya menurut
penilaian pemerintah subsidi di arahkan kepada kalangan bawah. Namun
pemerintah menilai subsidi ini justru di nikmati oleh orang kaya yakni
masyarakat yang memiliki kendaraan bermotor.
Apakah alasan ini benar pada kenyataannya? Atau
hanya sebuah argumentasi pembenaran untuk mendukung keinginan dan ambisi
pemerintah belaka?
Tapi saya selaku penulis punya anggapan berbeda,
karena BBM adalah hak rakyat untuk menggunakannya. Rakyat Indonesia
tidaklah di bagi-bagi atau terbagi-bagi antara rakyat yang kaya ataupun
yang miskin karena kedua-duanya tetap rakyat Indonesia. Pemerintah
terlalu kerdil apabila menggunakan argumentasi tersebut karena tugas
pemerintah adalah mewujudkan masyarakat sejahtera. Jadi jangan
membeda-bedakan mana si miskin dan si kaya karena keduanya merupakan
tugas dan tanggung jawab pemerintah agar mereka dapat hidup sejahtera
keduanya.
Pemahaman terhadap subsidi nampaknya harus di
maknai ulang oleh pemerintah dan anggota DPR, karena ketika subsidi itu
masuk ke hajat hidup orang banyak, maka subsidi tidak membedakan atau
mendiskriminasikan orang. Maka subsidi energi tidak patut
membeda-bedakan orang kaya dan orang miskin.
Kemudian sesuai bunyi pasal 33 UUD 1945 yaitu
bumi,air, dan seisinya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Jadi BBM itu merupakan hak rakyat. Jangan di anggap sebagai
biaya dan beban negara.
Alasan Pemerintah menaikkan harga BBM penuh dengan
kebohongan dan akal-akalan bahkan cenderung menghianati rakyat.
Kebijakan menaikkan BBM tidak lain adalah untuk mensukseskan
liberarisasi sektor hilir (sektor niaga dan distribusi) setelah
liberalisasi sektor hulu (eksploitasi dan ekplorasi) sempurna dilakukan.
Kebijakan ini sarat kepentingan asing, bahkan ada beberapa pendapat
bahwa kebijakan ini adalah tuntutan asing dan pemerintahan SBY telah di
rongrong oleh Asing untuk segera menepati janjinya. Karena niat
kebijakan ini lahir merupakan amanat dari Letter of Interns (Lol)
International Monetary Fund (IMF), karena IMF mewajibkan Indonesia
menghapuskan subsidi BBM.
Liberalisasi migas sudah terjadi sejak orde baru
yang ditandai dengan masuknya investor asing dalam mengekplorasi migas
di Indonesia. Namun mereka belum leluasa sepenuhnya, hanya boleh masuk
di sebagian sektor hulu, dan BUMN Pertamina masih ditetapkan sebagai
pemain tunggal yang berhak mengelola hulu dan hilir migas di Indonesia.
Agar asing bisa menguasai semuanya, sektor migas, hulu maupun hilir
harus diliberalisasi. Melalui IMF, USAID, Bank Dunia, ADB dan lainnya,
dengan kolaborasi para komprador di negeri ini, mereka berhasil
meliberalisasi migas dengan lahirnya UU Migas No. 22 tahun 2001.
Liberalisasi migas itu sepenuhnya adalah
perintah asing yang dipaksakan oleh IMF melalui Letter of Intent (LoI).
Di dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, Jan.
2000) disebutkan: “pada sektor migas, Pemerintah berkomitmen: mengganti
UU yang ada dengan kerangka yang lebih modern, melakukan restrukturisasi
dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin bahwa kebijakan fiskal dan
berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara
internasional, membiarkan harga domestik mencerminkan harga
internasional”.
Liberalisasi migas itu menjadi syarat (perintah)
pemberian utang oleh Bank Dunia. Dokumen Indonesia Country Assistance
Strategy (World Bank, 2001) menyebutkan, “Utang-utang untuk reformasi
kebijakan merekomendasikan (baca memerintahkan) sejumlah langkah seperti
privatisasi dan pengurangan subsidi yang diharapkan dapat meningkatkan
efisiensi belanja publik, belanja subsidi khususnya pada BBM cenderung
regresif dan merugikan orang miskin ketika subsidi tersebut jatuh ke
tangan orang kaya.”
Hasilnya, UU Migas No. 22 th. 2001 disahkan,
liberalisasi migas berjalan. Pasal 9 UU itu menyamakan posisi Pertamina
sebagai BUMN dengan swasta termasuk asing. Pasal 10 melarang badan usaha
(termasuk BUMN Pertamina) melakukan kegiatan usaha di sektor hulu dan
hilir sekaligus. Pasal 13, satu badan usaha termasuk BUMN Pertamina,
hanya diberi satu wilayah kerja, untuk setiap wilayah kerja harus
dibentuk badan hukum terpisah.
Inilah UU yang sangat aneh. BUMN diharuskan
bersaing dengan perusahaan swasta bahkan asing untuk mendapat tender
mengelola migas milik negara sendiri. UU ini melarang Pertamina, artinya
negara melarang dirinya sendiri untuk mengeksplorasi dan sekaligus
menjual migas di negaranya sendiri; mengharuskan negara mengelola migas
melalui bukan badan usaha, padahal di negara manapun negara mengelola
migasnya melalui BUMN; mengharuskan BUMN Pertamina di pecah-pecah alias
dikerdilkan oleh negara sendiri, dan keanehan lainnya.
Akibatnya, asing bebas menguasai migas. Data Dirjen
Migas (2010), Pertamina dan mitra hanya menguasai 16% dari produksi
migas, sisanya dikuasai asing. Bagian pemerintah yang dulu sesuai
Production Sharing Contract (PSC) lama (1971) bagi hasil
pemerintah:kontraktor setelahcost recovery dan pajak sebesar 85:15,
justru menurun menjadi 63:37 sesuai peraturan PSC yang berlaku pasca UU
No. 22/2001 (lihat: Oil & Gas Indonesia: Investment and Taxation
Guide, PWC. 2010). Semua itu menghilangkan kedaulatan migas dan memberi
jalan kepada asing.
Dengan di lepasnya harga BBM sesuai dengan harga
pasar Internasional nantinya akan berimplikasi kepada akan banyaknya
perusahaan asing yang ikutan jualan BBM eceran dengan membuka SPBU.
Langkah ini melengkapi kebijakan sebelumnya yakni pembukaan
selebar-lebarnya perusahaan minyak asing untuk bermain di sektor hulu
migas. Yang tujuannya sangat jelas bahwa asing ingin mengeruk keuntungan
yang besar dari komoditas migas Indonesia. Bayangkan saja mereka telah
berhasil mengeksploitasi dan mengeksplorasi migas Indonesia dengan
leluasa dan kemudian menjualnya pula di Indonesia, tapi dengan harga
Internasional. Siapa yang untung dan Siapa yang Buntung?
Selamat menyimpulkan, selamat membeli BBM dengan
harga baru. BBM tanpa subsidi. Selamat menawar di Pasar harga sayur
mayur, telor, daging dan semuanya. Dan selamat menikmati pembagian BLSM
kepada kalian rakyat Indonesia yang mendapatkan jatahnya.