Pada artikel sebelumnya kita telah membahas tentang
penghianatan pasal 33 UUD 1945 yang tercoreng atas nama “Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945”. Pada Pembahasan sebelumnya juga telah sempat kita
menyinggung tentang Undang-undang Penanaman Modal dan Undang-undang Penanaman
Modal Asing (PMA) sadar ini berdampak salah satunya yakni tentang pertanahan
(Agraria).
Pada kasus-kasus yang berkembang di masyarakat seperti
sengketa pertanahan adat dalam artikel ini.
Desa Lelilef Sawai dan Gemaf, Kabupaten Halmahera Tengah (Kalteng) adalah wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Hal itu terbukti dengan masuknya sejumlah perusahaan dari dalam dan luar negeri yang melakukan eksplorasi tambang Nikel. Salah satunya adalah PT Weda Bay Nikel. Persoalannya, sekitar 195 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di dua desa tersebut merisaukan rencana perluasan eksplorasi perusahaan tambang yang sahamnya sebagian besar dimiliki oleh negara Perancis itu.
Desa Lelilef Sawai dan Gemaf, Kabupaten Halmahera Tengah (Kalteng) adalah wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Hal itu terbukti dengan masuknya sejumlah perusahaan dari dalam dan luar negeri yang melakukan eksplorasi tambang Nikel. Salah satunya adalah PT Weda Bay Nikel. Persoalannya, sekitar 195 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di dua desa tersebut merisaukan rencana perluasan eksplorasi perusahaan tambang yang sahamnya sebagian besar dimiliki oleh negara Perancis itu.
Perluasan itu akan mengambil
alih lahan yang secara turun temurun sudah digunakan warga untuk tinggal dan
bercocok tanam. Selain bekerja sebagai nelayan, sebagian warga menggantungkan
hidup dari bertani dan berkebun di tanah yang disebut sebagai tanah adat
itu. Sehingga perluasan yang dilakukan WBN akan berpengaruh signifikan terhadap
kehidupan warga.
Pada intinya warga di dua desa
itu tidak mempersoalkan perluasan tersebut, tapi dengan syarat warga harus
diberi kompensasi yang sesuai. Salah satu warga desa Lelilef Sawai, Yosepus
Burnama, mengatakan sudah terdapat tanah warga yang diratakan oleh perusahaan,
padahal tanah itu belum dibebaskan. Menurutnya, sudah ada delapan warga yang
tanahnya diambil alih perusahaan tanpa ganti rugi.
Yosepus melanjutkan, WBN akan
membangun pabrik untuk melakukan pengolahan serta eksplorasi di atas lahan adat
milik warga kedua desa itu. Sayangnya, nominal ganti rugi yang ditawarkan
harganya terlalu murah, yaitu Rp8 ribu/meter persegi. Pria yang sempat bekerja
di WBN itu mengatakan sebagian warga menerima penawaran itu, sebagian lagi
menolak dan menuntut ganti rugi dengan nominal Rp50 ribu/meter persegi.
Tuntutan tersebut sudah
disuarakan oleh warga di kedua desa itu sejak 2009, namun tidak ditanggapi
dengan baik oleh WBN dan pemerintah daerah (Pemda) setempat. Bahkan, kata
Yosepus, sejumlah aparat desa terlihat berpihak kepada WBN ketimbang membela
warganya. Ditambah lagi Bupati Halteng, Yasin Ali, selalu mengklaim bahwa lahan
yang selama ini digunakan warga adalah tanah negara.
“Padahal tanah itu tanah
leluhur, tanah nenek moyang kami, tanah adat,” kata Yosepus, Jumat (25/5).
Lantaran Pemda setempat dinilai
tidak dapat menuntaskan persoalan, warga mengadu kepada Komnas HAM di Jakarta.
Komnas HAM sudah melakukan investigasi secara langsung di kedua desa itu pada
19–21 Juni 2011. Sayangnya, rekomendasi yang diterbitkan Komnas HAM tidak
diindahkan oleh pihak yang bersangkutan sehingga penyelesaian persoalan ini
berlarut.
Tak menyerah, warga melaporkan
permasalahan ini kepada DPD. Pada Kamis (24/5), Komite II DPD menggelar Rapat
Dengar Pendapat Umum (RDPU) untuk menindaklanjuti laporan warga. Rapat yang
dipimpin Ketua Komite II, Bambang Susilo, dihadiri oleh perwakilan warga, WBN,
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat, Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) dan Bupati Halteng, Al Yasin Ali.
Komite II DPD akhirnya
menerbitkan sejumlah kesimpulan yakni mengimbau agar pihak berkepentingan
bermusyawarah untuk membahas persoalan ini. Pihak berkepentingan juga diimbau
untuk tidak hanya terpaku pada besaran kompensasi, namun lebih kepada perihal
yang realistis serta mempertimbangkan solusi lain seperti Community Social
Responsibility (CSR) atau Community Development (CD).
Terkait status tanah, Komite II
DPD akan melakukan cross check dengan Kementerian Kehutanan dan BPN,
serta melakukan pengawasan agar ada kepastian yang jelas terkait lahan yang disengketakan.
Selain itu, Komite II DPD meminta kepada WBN untuk tidak melakukan
kegiatan di tanah warga yang belum mempunyai status pembebasan lahan. Kegiatan
yang dilakukan WBN diperbolehkan jika sudah terdapat bukti status pengalihan
lahan yang jelas. Komite II DPD juga berjanji turun langsung ke lokasi untuk
menyelesaikan permasalahan yang ada.
Yosepus berharap pemerintah dan
anggota dewan mampu membantu menyelesaikan masalah ini. Bagi Yosepus,
berdirinya WBN akan berpengaruh besar terhadap kehidupan warga, terutama faktor
ekonomi. Soalnya, warga yang lahannya diserobot tanpa ganti rugi sudah tidak
dapat lagi bercocok tanam. “Lahan saya sendiri yang telah digunakan secara
turun-temurun terancam digusur,” keluhnya.
Di kesempatan yang sama, salah
satu anggota tim yang mengadvokasi warga dari LBH Projustisia, Ferry J
Mainassy, mengatakan upaya penyelesaian ini akan ditempuh dengan cara litigasi
dan non litigasi. Namun, upaya yang telah dilakukan sampai saat ini untuk
menyelesaikan persoalan baru pada tingkat non litigasi. Bagi Ferry, tidak
menutup kemungkinan jika nanti upaya litigasi dilakukan.
Secara hukum, Ferry melihat
persoalan pembebasan lahan warga seharusnya mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang ada, salah satunya adalah UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dalam ketentuan itu, ia melihat
pembebasan lahan yang diperuntukkan bukan untuk kepentingan umum maka mekanisme
yang dilalui adalah musyawarah–mufakat, yaitu dilakukan negosiasi antara pihak
yang mau menggunakan dengan pemilik lahan.
Sayangnya, Ferry melihat
pembebasan lahan yang ditawarkan kepada warga menggunakan mekanisme untuk
kepentingan umum. Baginya, hal itu merugikan warga. “Pembebasan lahan itu
harusnya dilakukan bukan berdasarkan pendekatan kepentingan umum,” ujarnya.
Ferry melanjutkan, tuntutan
ganti rugi sebesar Rp50 ribu/meter persegi sebagaimana keinginan warga bukan
tanpa sebab. Pasalnya, harga tersebut sudah dipertimbangkan dengan matang oleh
warga dari berbagai macam aspek. Misalnya, perusahaan akan menggunakan lahan
dalam kurun waktu sangat lama, ada tanaman umur panjang milik warga yang
digusur dan lainnya.
Bantah Ikut Campur
Bantah Ikut Campur
Sementara itu, Bupati Halteng,
Al Yasin Ali, mengatakan kompensasi yang diberikan kepada warga di dua desa
yang lahannya akan dibangun pabrik oleh WBN mengacu pada beberapa hal. Pertama,
mengacu pada harga yang sudah diterapkan di desa sekitar di mana terdapat
perusahaan serupa. Kedua, negosiasi antar kedua belah pihak yaitu WBN dan
warga.
Jika mengacu harga sebelumnya dalam
soal ganti rugi lahan yang ada di kabupaten lain, Yasin mengatakan nominal
kompensasi lahan warga harganya bervariasi mulai dari Rp4–9 ribu/meter persegi.
Bahkan, jika lahan itu memiliki sertifikat harganya dapat mencapai Rp15
ribu/meter persegi. Dia juga menegaskan, Pemda tidak campur tangan dalam
penentuan harga tersebut.
Bagi Yasin, tugas Pemda hanya sebatas sosialisasi mengenai harga. Misalnya, jika lahan itu digunakan untuk kepentingan umum seperti pembangunan jalan, sekolah, rumah sakit dan lainnya, maka nominal kompensasi berkisar diangka Rp2,5 ribu/meter persegi. Jika lahan diperuntukkan di luar kepentingan umum maka harganya lebih tinggi.
Bagi Yasin, tugas Pemda hanya sebatas sosialisasi mengenai harga. Misalnya, jika lahan itu digunakan untuk kepentingan umum seperti pembangunan jalan, sekolah, rumah sakit dan lainnya, maka nominal kompensasi berkisar diangka Rp2,5 ribu/meter persegi. Jika lahan diperuntukkan di luar kepentingan umum maka harganya lebih tinggi.
Ketika ditanya nilai kompensasi
untuk tanah adat/ulayat, Yasin mengatakan di Kabupaten Halteng tidak ada tanah
adat/ulayat. Namun, terdapat tanah yang berstatus Hutan Produksi Terbatas (HPT)
yang pengelolaannya berada di bawah wewenang Kementerian Kehutanan dan
tergolong dalam tanah negara. “Di sana tidak ada tanah adat/ulayat,” kata Yasin
ketika dikonfirmasi lewat telepon, Minggu (27/5).
Dia menambahkan, meski lahan
warga yang menjadi sengketa termasuk tanah negara, warga sudah mengolah tanah
itu secara turun-temurun. Sehingga di atas tanah itu terdapat tanaman berumur
panjang seperti kelapa, pisang dan lainnya. Atas dasar itu, ia mengatakan
kompensasi yang akan diberikan mengacu pada lahan yang sudah ditanami warga.
Selain itu, negosiasi harga yang
dilakukan warga dapat juga mengarah pada kompensasi lainnya, seperti masyarakat
mendapat bagian dari setiap bahan baku mentah yang dijual perusahaan. Menurut
Yasin dana itu di luar dana CSR yang diberikan perusahaan.
Ketika ditanya soal izin WBN,
Yasin mengatakan perusahaan tersebut sudah mengantongi izin. Di atas lahan yang
terdapat di dua desa itu, katanya, akan digunakan untuk membangun pabrik dan
fasilitas pendukung untuk mengolah bahan baku mentah Nikel. Mengacu pada
potensi yang ada di Halteng, perusahaan tersebut akan beroperasi di sana dalam
waktu cukup lama. “Lebih dari 50 tahun,” pungkasnya.
Sumber : hukumonline.com