Kesulitan kita dengan era modern adalah kenyataan peradaban umat manusia sampai detik ini belum menemukan sistem yang lebih baik dan lebih unggul dari demokrasi. Sistem kerajaan yang adil sekalipun, misalnya, jelas tidak menempatkan warga negara biasa pada posisi yang sama dibandingkan dengan mereka yang punya darah biru. Hak kerajaan adalah hak warisan. Dalam kerajaan absolut, lembaga pemilihan umum (pemilu) tidak diperlukan, sebab prinsip egalitarian yang membuka pintu pada semua warga untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan penting sama sekali tidak dikenal.
Raja atau sebutan lain seperti kaisar, khalifah, amir, sultan, selalu berada di posisi puncak. Perkara mereka adil atau zalim tidak pernah dipermasalahkan secara terbuka. Darah biru menutup pintu rapat-rapat bagi rakyat untuk 'menyeberang' pagar dinastik itu. Dengan bergulirnya zaman, sistem kerajaan semakin ditinggalkan, digantikan bentuk republik dengan demokrasi sebagai sistem politik yang dipilih. Kerajaan pun punya berbagai bentuk. Ada yang konstitusional, ada yang absolut, dan ada pula bercorak gabungan dari keduanya. Tetapi dalam satu hal, semuanya pasti menempatkan darah biru sebagai faktor penentu untuk jabatan puncak.
Pergerakan nasional kita telah memilih demokrasi sejak awal dan menolak sistem kerajaan. Pilihan itu, menurut saya, sudah benar dan tepat. Tapi, dalam perjalanan bangsa kita pascaproklamasi selama 63 tahun, apakah demokrasi yang telah dipilih itu semakin membawa kita pada tujuan kemerdekaan? Inilah masalah serius yang sedang kita hadapi, mengapa pertanyaan ini menjadi sangat relevan dengan situasi kita.
Untuk melaksanakan demokrasi, media pemilu adalah bagian yang menyatu dengan sistem itu. Indonesia telah mempraktikkan berbagai corak demokrasi: Liberal, Terpimpin, Pancasila, tanpa nama, seperti yang berlaku sejak reformasi. Demokrasi Liberal punya keunggulan dan kelemahan. Unggul karena memberi kebebasan kepada warga untuk terlibat secara bebas dalam proses politik; kelemahannya terletak pada kekuasaan partai yang terlalu dominan, sehingga kabinet jatuh-bangun dalam tempo singkat, tergantung kepada selera elite partai untuk memutuskan, bertahan atau keluar dari kabinet. Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila hanyalah demokrasi dalam nama, tidak dalam kenyataan. Dua corak demokrasi ini sama-sama berujung pada malapeta yang harus dibayar mahal oleh bangsa ini.
Sekarang sudah berjalan 10 tahun kita berada dalam kultur demokrasi tanpa nama. Banyak kemajuan yang dicapai dalam makna memberi kebebasan kepada warga untuk sepenuhnya menggunakan haknya dalam proses pengambilan keputusan politik melalui pemilu secara reguler. Jabatan presiden, gubernur, bupati/wali kota telah dibatasi sampai dua kali, dan mereka pun dipilih secara langsung. Bukankah ini sebuah terobosan politik yang penting? Tetapi, selalu ada 'tetapi'-nya.
'Tetapi' yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa tujuan kemerdekaan berupa 'keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia' tidak semakin mendekat. Lautan kemiskinan seperti tontonan saja, di samping elite politik yang tidak tahu diri. Mereka menikmati keadaan yang sedang membusuk ini. Belum lagi kita berbicara tentang perpecahan partai disebabkan oleh perbedaan kepentingan jangka pendek di antara elite mereka. Jor-joran dalam meraup kekayaan negara sudah sangat nyata, sementara rakyat miskin semakin kehilangan harapan.
Berapa biaya demokrasi dengan sistem pemilihan langsung (pilsung) yang sekarang sedang berjalan? Baru-baru ini Prof Sofian Effendi, mantan rektor Universitas Gadjah Mada dengan mengutip hasil penelitian LIPI, mengatakan ongkos pilsung kita selama lima tahun yang harus dikeluarkan negara tidak kurang dari Rp 400 triliun. Cukup dahsyat, bukan? Sekiranya dengan ongkos itu ada bayangan bahwa tujuan kemerdekaan akan semakin dekat, mungkin dapat dipahami. Tetapi, yang terbayang adalah masa depan yang suram. Gejala golput semakin menguat, sebagai indikasi demokrasi kita tidak semakin sehat, boroknya malah bertambah.
Pertanyaan terakhir: apakah demokrasi harus diganti dengan sistem lain? Jawaban saya tunggal: demokrasi harus bertahan karena itu sudah menjadi pilihan kita sejak awal. Yang harus digugat secara keras adalah pelaku demokrasi yang semakin teler, menjadi penikmat demokrasi, sebuah pengkhianatan politik yang harus segera diakhiri. Bangsa ini harus berani menghalau dengan berani borok-borok kultur politiknya yang dapat membunuh masa depan kita semua.
Sumber :
- www.republika.co.id
- maarifinstitute