Oleh : Buya Syafii Ma'arif
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, susunan J.S.
Badudu-Sutan Mohammad Zain (Jakarta: Pustaka Sinara Harapan, 1994), perkataan
“kumuh” mengandung tiga makna: 1. kotor; 2. kotor dan tidak teratur, tampak mesum;
3. keji. Untuk makna pertama, contoh kalimat yang diberikan adalah: “mukanya
kumuh benar, cucilah dulu”; kedua, “perkampungan yang kumuh”; ketiga, “kelakuan
keji yang dipertunjukkannya sungguh memuakkan.” Rasanya ketiga makna yang mirip
itu telah lama membebani kultur Indonesia modern, apakah itu dalam politik, ekonomi, sosial, dan moral.
Ke mana pun kita bergerak, budaya kumuh itu sangat dirasakan
dan terus dipergunjingkan orang dari desa sampai ke
kota . Di kedai-kedai kecil di perkampungan,
di atas pesawat, di hotel-hotel mewah, dalam simposium dan seminar, bahkan di
dangau-dangau sawah, kekumuhan itu tetap menjadi topik pembicaraan. Memang baru
pada tingkat “pembicaraan,” perbaikannya pasti memerlukan waktu lama, sampai
bangsa benar-benar menjadi bangsa siuman. Setidak-tidaknya, kita masih punya
warga yang muak dengan segala bentuk kekumuhan ini, sekalipun tidak tahu cara
bagaimana yang efektif untuk terlepas dari cengkeramnnya. Sungguh sulit sekali.
Diperlukan energi eksra dan stamina spiritual yng prima untuk melawannya.
Sekarang ini masih saja ramai dibicarakan tentang jaksa yang
tertangkap tangan saat menerima sogok, anggota DPR yang idem dito, kapolsek
yang “nyabu”, ujian yang bocor, si anu yang selingkuh dan tanpa rasa malu malah
digelar dalam acara tv, dan 1001 contoh kumuh yang tidak pernah kering untuk
diungkap. Kita sangat kaya dengan bermacam corak kekumuhan ini. Ketika KPK
hendak menggeledah ruang kerja anggota DPR, Bung Agung Laksono, ketua dewan,
tampil ke muka untuk melawannya. Bahkan ada anggota DPR yang mengusulkan agar
KPK dibubarkan saja karena dinilai sudah overacting. Tetapi tampaknya KPK tetap
saja bergerak tanpa menghiraukan perlawanan yang datang bertubi-tubi itu.
Sebagai salah seorang yang turut membidani lahirnya pimpinan KPK yang sekarang
ini, pesan saya tunggal: terus saja bergerak, tetapi jangan sampai tebang pilih.
Menegakkan hukum, riskonya memang besar: dicaci-maki, dimusuhi, bahkan tidak
mustahil dibunuh.
Dalam lingkungan budaya kotor, mesum, dan keji, kejahatan
merajalela, aparat penegak hukum seperti tidak berdaya, uang maha kuasa. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa sebagian aparat penegak hukum itu telah pula bergelimang
dan larut dalam budaya kumuh itu dan bahkan bersahabat dengan penjahat, demi
uang. Oleh sebab itu anda jangan terlalu berharap masalah BLBI akan tuntas
dalam beberapa tahun ini, jika pimpinan negara tetap saja dalam keraguan untuk
bertindak, sementara sebagian aparat penegak hukum tidak bisa membebaskan
dirinya dari lingkungan yang keji dan kumuh itu. Pada dasa warsa pertama abad
ke-21, tingkat peradaban
Indonesia
memang baru sampai di situ.
Lalu, kepada siapa bangsa ini harus mengadu? Tidak kepada
siapa-siapa, kecuali kepada kekuatan moral yang masih tersisa dalam kultur
kita. Kita jangan tenggelam dalam keputusasaan. Orang baik masih ada di
mana-mana, sekalipun surga dan neraka juga
bertetanga. Inilah dunia Bung. Kita tidak bisa lari dari lingkungan yang serba
kusam itu. Usul fiqh mengajarkan tentang “akhaffu al-dhararain” (pilih yang
paling ringan daya rusaknya), pada saat kita dihadapkan kepada lingkungan
budaya yang busuk. Jelas tidak selalu mudah. Pada sebuah unit kerja misalnya,
seseorang yang masih berupaya bertahan dalam idealisme, bisa saja tersingkir,
disisihkan oleh penganut filosofi mumpungisme, jika tidak sekarang, kapan lagi.
Tokh sebagian wakil rakyat, sebagian aparat penegak hukum, jangan ditanya lagi pengusaha
hitam, telah lama bergelimang dalam kubangan yang keruh-pekat ini. Pamor sementara
kiyai pun sudah merosot drastis karena rebutan posisi kekuasaan. Sekali agama
dijadikan alat pembenar kekuasaan, risikonya hanya satu: kerusakan. Al-Qur’an
menggunakan istilah al-fasād fī al-ardh (kerusakan di muka bumi). Korupsi
adalah salah satu bentuk kerusakan yang terparah di
Indonesia . Yang rumit adalah bahwa
para perusak itu merasa berbuat baik dan dipercaya pula oleh sebagian orang
sebagai manusia baik. Mereka sepintas lalu seperti layaknya para dermawan,
semata-mata untuk menyembunyikan prilaku jahatnya. “Lā tufsidū fī al-ardh, qālū
innamā nahnu mushlihūn”/Janganlah kalian melakukan kerusakan di muka bumi,
jawab mereka: “Kami justru adalah orang-orang yang membangun perbaikan.” (Al-Baqarah: 11).
Saya yakin bahwa bangsa ini masih bisa dibenahi dengan
syarat agar orang-orang baik dan berani harus ke luar kandang dan terus
berteriak: hentikan kerusakan, hentikan kebinasaan. Jihad melawan kerusakan
adalah jihad sejati. Jangan biarkan bangsa ini menjadi puing peradaban!
(Untuk Gatra, minggu kedua Mei 2008)