Home » » BERGELIMANG DALAM BUDAYA KUMUH

BERGELIMANG DALAM BUDAYA KUMUH

Written By __CunG__ on Saturday, 2 June 2012 | 19:25

Oleh : Buya Syafii Ma'arif


Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, susunan J.S. Badudu-Sutan Mohammad Zain (Jakarta: Pustaka Sinara Harapan, 1994), perkataan “kumuh” mengandung tiga makna: 1. kotor; 2. kotor dan tidak teratur, tampak mesum; 3. keji. Untuk makna pertama, contoh kalimat yang diberikan adalah: “mukanya kumuh benar, cucilah dulu”; kedua, “perkampungan yang kumuh”; ketiga, “kelakuan keji yang dipertunjukkannya sungguh memuakkan.” Rasanya ketiga makna yang mirip itu telah lama membebani kultur Indonesia modern, apakah itu dalam politik, ekonomi, sosial, dan moral.
Ke mana pun kita bergerak, budaya kumuh itu sangat dirasakan dan terus dipergunjingkan orang dari desa sampai ke kota. Di kedai-kedai kecil di perkampungan, di atas pesawat, di hotel-hotel mewah, dalam simposium dan seminar, bahkan di dangau-dangau sawah, kekumuhan itu tetap menjadi topik pembicaraan. Memang baru pada tingkat “pembicaraan,” perbaikannya pasti memerlukan waktu lama, sampai bangsa benar-benar menjadi bangsa siuman. Setidak-tidaknya, kita masih punya warga yang muak dengan segala bentuk kekumuhan ini, sekalipun tidak tahu cara bagaimana yang efektif untuk terlepas dari cengkeramnnya. Sungguh sulit sekali. Diperlukan energi eksra dan stamina spiritual yng prima untuk melawannya.
Sekarang ini masih saja ramai dibicarakan tentang jaksa yang tertangkap tangan saat menerima sogok, anggota DPR yang idem dito, kapolsek yang “nyabu”, ujian yang bocor, si anu yang selingkuh dan tanpa rasa malu malah digelar dalam acara tv, dan 1001 contoh kumuh yang tidak pernah kering untuk diungkap. Kita sangat kaya dengan bermacam corak kekumuhan ini. Ketika KPK hendak menggeledah ruang kerja anggota DPR, Bung Agung Laksono, ketua dewan, tampil ke muka untuk melawannya. Bahkan ada anggota DPR yang mengusulkan agar KPK dibubarkan saja karena dinilai sudah overacting. Tetapi tampaknya KPK tetap saja bergerak tanpa menghiraukan perlawanan yang datang bertubi-tubi itu. Sebagai salah seorang yang turut membidani lahirnya pimpinan KPK yang sekarang ini, pesan saya tunggal: terus saja bergerak, tetapi jangan sampai tebang pilih. Menegakkan hukum, riskonya memang besar: dicaci-maki, dimusuhi, bahkan tidak mustahil dibunuh.
Dalam lingkungan budaya kotor, mesum, dan keji, kejahatan merajalela, aparat penegak hukum seperti tidak berdaya, uang maha kuasa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian aparat penegak hukum itu telah pula bergelimang dan larut dalam budaya kumuh itu dan bahkan bersahabat dengan penjahat, demi uang. Oleh sebab itu anda jangan terlalu berharap masalah BLBI akan tuntas dalam beberapa tahun ini, jika pimpinan negara tetap saja dalam keraguan untuk bertindak, sementara sebagian aparat penegak hukum tidak bisa membebaskan dirinya dari lingkungan yang keji dan kumuh itu. Pada dasa warsa pertama abad ke-21, tingkat peradaban Indonesia memang baru sampai di situ.
Lalu, kepada siapa bangsa ini harus mengadu? Tidak kepada siapa-siapa, kecuali kepada kekuatan moral yang masih tersisa dalam kultur kita. Kita jangan tenggelam dalam keputusasaan. Orang baik masih ada di mana-mana, sekalipun  surga dan neraka juga bertetanga. Inilah dunia Bung. Kita tidak bisa lari dari lingkungan yang serba kusam itu. Usul fiqh mengajarkan tentang “akhaffu al-dhararain” (pilih yang paling ringan daya rusaknya), pada saat kita dihadapkan kepada lingkungan budaya yang busuk. Jelas tidak selalu mudah. Pada sebuah unit kerja misalnya, seseorang yang masih berupaya bertahan dalam idealisme, bisa saja tersingkir, disisihkan oleh penganut filosofi mumpungisme, jika tidak sekarang, kapan lagi. Tokh sebagian wakil rakyat, sebagian aparat penegak hukum, jangan ditanya lagi pengusaha hitam, telah lama bergelimang dalam kubangan yang keruh-pekat ini. Pamor sementara kiyai pun sudah merosot drastis karena rebutan posisi kekuasaan. Sekali agama dijadikan alat pembenar kekuasaan, risikonya hanya satu: kerusakan. Al-Qur’an menggunakan istilah al-fasād fī al-ardh (kerusakan di muka bumi). Korupsi adalah salah satu bentuk kerusakan yang terparah di Indonesia. Yang rumit adalah bahwa para perusak itu merasa berbuat baik dan dipercaya pula oleh sebagian orang sebagai manusia baik. Mereka sepintas lalu seperti layaknya para dermawan, semata-mata untuk menyembunyikan prilaku jahatnya. “Lā tufsidū fī al-ardh, qālū innamā nahnu mushlihūn”/Janganlah kalian melakukan kerusakan di muka bumi, jawab mereka: “Kami justru adalah orang-orang yang membangun perbaikan.”  (Al-Baqarah: 11).
Saya yakin bahwa bangsa ini masih bisa dibenahi dengan syarat agar orang-orang baik dan berani harus ke luar kandang dan terus berteriak: hentikan kerusakan, hentikan kebinasaan. Jihad melawan kerusakan adalah jihad sejati. Jangan biarkan bangsa ini menjadi puing peradaban!


(Untuk Gatra, minggu kedua Mei 2008)
Jogjakarta, 3 Mei 2008
Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. _..::IrFaN.MP::.._ - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger