Powered by Blogger.
Latest Post
12:36
Napak Tilas Perjalanan Sejarah Bangsa Yang Terlupakan
Written By __CunG__ on Saturday, 30 June 2012 | 12:36
Republik
Indonesia tidak lahir atas hadiah dengan karpet merah oleh Pemerintah Kerajaan
Belanda ataupun Sekutu. Tetapi berkat perjuangan rakyat Indonesia yang disertai
dengan pengorbanan jiwa, harta dan air mata.
Betapa hinanya mereka yang menodai
cita2 kemerdekaan bangsa Indonesia dengan korupsi, tindakan2 kekerasan dan
perpecahan yang bertentengan dengan UUD 45 dan Panca Sila.Dibawah
ini catatan sejarah selagi RI masih balita yang terus dilanda teror dan
serangan militer baik oleh Sekutu maupun Belanda yang tidak rela Indonesia
lepas dari genggamannya.
Kronologis
Sejarah Republik Indonesia 1945 – 1949
Labels:
PERJUANGAN,
SEJARAH
17:28
Perdjoeangan Kita - Sutan Sjahrir
Written By __CunG__ on Thursday, 28 June 2012 | 17:28
Keadaan setelah dua bulan
berdirinya Republik Indonesia dapat kita gambarkan sebagai berikut. Harapan dan
keinginan untuk turut serta akan dapat mempertahankan kemerdekaan kita, umum
ada pada segala lapisan bangsa kita. Belum pernah ditahun-tahun yang lalu
gerakan kemerdekaan memuncak seperti sekarang. Terutama pada pemuda tampak,
bahwa segenap jiwanya dipasangkan pada perjuangan kemerdekaan kita. Akan tetapi
lambat laun rakyat banyak didesa dan dikota yang memperhebat perjuangan kita.
Rakyat jelata turut tergolak kedalam gerakan kemerdekaan, didorong oleh
kegelisahannya yang disebabkan oleh suasana masyarakatnya. Bagi rakyat jelata
nyata, bahwa semboyan "merdeka" itu tidak saja berarti Negara
Indonesia yang berdaulat pun tidak pula saja bendera merah putih baginya
berarti simbol persatuan dan cita-citanya bangsa dan negara, akan tetapi
terutama kemerdekaan dirinya sendiri dari sewenang-wenang, dari kelaparan dan
kesengsaraan, dan merah-putih baginya terutama simbol perjuangan itu, yaitu
perjuangan kerakyatan.
Labels:
ARTIKEL
00:00
JALAN KERAKYATAN - Pemikiran Sjahrir Dalam Konteks Kekinian
Written By __CunG__ on Tuesday, 26 June 2012 | 00:00
Oleh Adie Marzuki
Tujuan Berdirinya Republik Indonesia
Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini didirikan, yang secara resmi
dicantumkan dalam konstitusi Negara sebagai kontrak sosial institusi Negara
dengan seluruh entitas bangsa, adalah untuk membentuk suatu Pemerintahan yang
melindungi segenap rakyatnya, memajukan kesejahteraan rakyatnya, mencerdaskan
rakyatnya, serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
negerinya. Dalam mencapai tujuan ini, telah disepakati dalam konstitusi
tersebut untuk menempuh sebuah jalan yang pada dasarnya bertumpu kepada konsep
Kedaulatan Rakyat, atau yang umum disebut dengan demokrasi. Baik dalam hal
politik maupun ekonomi, jalan yang disepakati para pendiri untuk ditempuh oleh
Negara adalah Kedaulatan Rakyat, atau demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
Ketika mendirikan Negara ini, semangat para pendiri adalah menumbuhkan
demokrasi berdasarkan ikatan solidaritas kolektif untuk merdeka dan keutamaan
partisipasi politik rakyat yang jauh dari sistem ekonomi kapitalisme. Semangat
Negara untuk berperan aktif, tidak saja dalam wilayah politik namun juga sosial
ekonomi untuk memenuhi hajat hidup warganegaranya.
Definisi demokrasi politik yang dijabarkan dalam konstitusi tersebut mengacu
kepada suatu sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Merujuk kepada definisi itu, makna dari demokrasi ekonomi adalah suatu sistem
ekonomi, dimana permasalahan produksi adalah diselenggarakan oleh rakyat dan
untuk rakyat, dan karenanya mengandung pengertian partisipasi dan pemerataan.
Secara umum, demokrasi ekonomi itu mencakup aspek akses terhadap sumber daya
ekonomi, aspek tingkat pendapatan masyarakat, dan aspek partisipasi kaum
pekerja dalam kegiatan ekonomi. Dengan mengacu kepada tujuan berdirinya Negara
Kesatuan ini, maka terdapat pengertian bahwa nama Republik Indonesia adalah
sebuah sebutan bagi pencapaian cita-cita kesejahteraan segenap rakyat
didalamnya, berdasarkan kedaulatan rakyat yang berkeadilan sosial.
Labels:
ARTIKEL
11:03
Proses Terjajahnya Kembali Indonesia Sejak Bulan November 1967
Written By __CunG__ on Wednesday, 20 June 2012 | 11:03
Keterjajahan Indonesia Semakin Jelas
Hari Ini dan pengaburan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai cita-cita dan
tujuan Indonesia Merdeka semakin nyata, pada dasarnya hal ini sudah menjadi
bahan pembicaraan dan pemikiran-pemikiran secara terbuka dan langsung dalam
seminar-seminar dan diskusi serta forum-forum kebangsaan baik dikampus maupun
diluar kampus dari tahun 2008 diantaranya artikel ini yang dikeluarkan pada
September 2008.
Oleh : Kwiek Kian Gie
14:02
Demokrasi Telah Melunturkan Semangat Jiwa Pembukaan UUD 1945
Written By __CunG__ on Sunday, 17 June 2012 | 14:02
Apakah istilah demokrasi ini sudah
tepat di implementasikan untuk kehidupan berbangsa dan bernegara di
Republik Indonesia? dalam pembukaan UUD’45 alenia ke-empat menyatakan
bahwa negara republik indonesia berkedaulatan rakyat yang berdasarkan
kepada pancasila. dimana dalam pancasila sila ke-empat menyatakan bahwa
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah (ilmu) kebijaksanaan dalam
permusyawaratan (bangsa) / perwakilan (negara).
Indonesia menggunakan sistem
demokrasi yang pertama kali sejak tahun 1955, dengan menggunakan
UUDS’50 sebagai landasan konstitusionalnya. hal itu ditandai dengan
pelaksanaan proses pemilihan umum untuk yang pertama kalinya
diindonesia, pemilu ini bertujuan untuk membentuk dewan konstituante.
dewan ini kemudian bertugas merumuskan kembali undang-undang dasar,
untuk dijadikan sebagai landasan konstitusi negara yang baru
menggantikan UUD’45. namun mengalami kegagalan, mengapa demikian?
Labels:
HUKUM POLITIK
03:41
Jenderal Sepuh dan Jati Diri Bangsa
Written By __CunG__ on Sunday, 3 June 2012 | 03:41
Oleh : Buya Syafii Ma'arif
Saya tidak tahu mengapa Jenderal Sepuh angkatan Jenderal Rudini ini selalu saja mengontak saya, apakah itu untuk seminar atau saat ia mendapat buku dan informasi baru yang berkaitan dengan karakter manusia. Sebagai orang yang lebih muda dalam usia sekalipun sudah kepala tujuh, saya benar-benar merasa sangat diperhatikan oleh jenderal yang satu ini.
Perhatian itu tidak ada pertautannya dengan urusan duniawi, tetapi sepenuhnya menyangkut dunia ide: jati diri dan karakter bangsa. Jenderal Sepuh ini jika berjalan sudah pakai tongkat dan bahkan tidak jarang dipapah, tetapi ia adalah di antara sedikit elite Indonesia yang telah menghabiskan sebagian besar usianya untuk memikirkan bagaimana memulihkan jati diri dan karakter bangsa yang semakin tidak jelas saja.
Mungkin karena kimia perasaan dan gelombang pemikirannya sebangun dengan apa yang sering saya lontarkan tentang hari depan bangsa ini, maka Jenderal Sepuh ini sudah sejak sekitar tiga tahun ini membangun komunikasi intensif dengan saya.
Saya tidak tahu mengapa Jenderal Sepuh angkatan Jenderal Rudini ini selalu saja mengontak saya, apakah itu untuk seminar atau saat ia mendapat buku dan informasi baru yang berkaitan dengan karakter manusia. Sebagai orang yang lebih muda dalam usia sekalipun sudah kepala tujuh, saya benar-benar merasa sangat diperhatikan oleh jenderal yang satu ini.
Perhatian itu tidak ada pertautannya dengan urusan duniawi, tetapi sepenuhnya menyangkut dunia ide: jati diri dan karakter bangsa. Jenderal Sepuh ini jika berjalan sudah pakai tongkat dan bahkan tidak jarang dipapah, tetapi ia adalah di antara sedikit elite Indonesia yang telah menghabiskan sebagian besar usianya untuk memikirkan bagaimana memulihkan jati diri dan karakter bangsa yang semakin tidak jelas saja.
Mungkin karena kimia perasaan dan gelombang pemikirannya sebangun dengan apa yang sering saya lontarkan tentang hari depan bangsa ini, maka Jenderal Sepuh ini sudah sejak sekitar tiga tahun ini membangun komunikasi intensif dengan saya.
19:32
Ongkos Demokrasi
Written By __CunG__ on Saturday, 2 June 2012 | 19:32
Oleh : Buya Syafii Ma'arif
Kesulitan kita dengan era modern adalah kenyataan peradaban umat manusia sampai detik ini belum menemukan sistem yang lebih baik dan lebih unggul dari demokrasi. Sistem kerajaan yang adil sekalipun, misalnya, jelas tidak menempatkan warga negara biasa pada posisi yang sama dibandingkan dengan mereka yang punya darah biru. Hak kerajaan adalah hak warisan. Dalam kerajaan absolut, lembaga pemilihan umum (pemilu) tidak diperlukan, sebab prinsip egalitarian yang membuka pintu pada semua warga untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan penting sama sekali tidak dikenal.
Raja atau sebutan lain seperti kaisar, khalifah, amir, sultan, selalu berada di posisi puncak. Perkara mereka adil atau zalim tidak pernah dipermasalahkan secara terbuka. Darah biru menutup pintu rapat-rapat bagi rakyat untuk 'menyeberang' pagar dinastik itu. Dengan bergulirnya zaman, sistem kerajaan semakin ditinggalkan, digantikan bentuk republik dengan demokrasi sebagai sistem politik yang dipilih. Kerajaan pun punya berbagai bentuk. Ada yang konstitusional, ada yang absolut, dan ada pula bercorak gabungan dari keduanya. Tetapi dalam satu hal, semuanya pasti menempatkan darah biru sebagai faktor penentu untuk jabatan puncak.
Pergerakan nasional kita telah memilih demokrasi sejak awal dan menolak sistem kerajaan. Pilihan itu, menurut saya, sudah benar dan tepat. Tapi, dalam perjalanan bangsa kita pascaproklamasi selama 63 tahun, apakah demokrasi yang telah dipilih itu semakin membawa kita pada tujuan kemerdekaan? Inilah masalah serius yang sedang kita hadapi, mengapa pertanyaan ini menjadi sangat relevan dengan situasi kita.
Kesulitan kita dengan era modern adalah kenyataan peradaban umat manusia sampai detik ini belum menemukan sistem yang lebih baik dan lebih unggul dari demokrasi. Sistem kerajaan yang adil sekalipun, misalnya, jelas tidak menempatkan warga negara biasa pada posisi yang sama dibandingkan dengan mereka yang punya darah biru. Hak kerajaan adalah hak warisan. Dalam kerajaan absolut, lembaga pemilihan umum (pemilu) tidak diperlukan, sebab prinsip egalitarian yang membuka pintu pada semua warga untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan penting sama sekali tidak dikenal.
Raja atau sebutan lain seperti kaisar, khalifah, amir, sultan, selalu berada di posisi puncak. Perkara mereka adil atau zalim tidak pernah dipermasalahkan secara terbuka. Darah biru menutup pintu rapat-rapat bagi rakyat untuk 'menyeberang' pagar dinastik itu. Dengan bergulirnya zaman, sistem kerajaan semakin ditinggalkan, digantikan bentuk republik dengan demokrasi sebagai sistem politik yang dipilih. Kerajaan pun punya berbagai bentuk. Ada yang konstitusional, ada yang absolut, dan ada pula bercorak gabungan dari keduanya. Tetapi dalam satu hal, semuanya pasti menempatkan darah biru sebagai faktor penentu untuk jabatan puncak.
Pergerakan nasional kita telah memilih demokrasi sejak awal dan menolak sistem kerajaan. Pilihan itu, menurut saya, sudah benar dan tepat. Tapi, dalam perjalanan bangsa kita pascaproklamasi selama 63 tahun, apakah demokrasi yang telah dipilih itu semakin membawa kita pada tujuan kemerdekaan? Inilah masalah serius yang sedang kita hadapi, mengapa pertanyaan ini menjadi sangat relevan dengan situasi kita.
19:25
Jogjakarta , 3 Mei 2008
BERGELIMANG DALAM BUDAYA KUMUH
Oleh : Buya Syafii Ma'arif
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, susunan J.S.
Badudu-Sutan Mohammad Zain (Jakarta: Pustaka Sinara Harapan, 1994), perkataan
“kumuh” mengandung tiga makna: 1. kotor; 2. kotor dan tidak teratur, tampak mesum;
3. keji. Untuk makna pertama, contoh kalimat yang diberikan adalah: “mukanya
kumuh benar, cucilah dulu”; kedua, “perkampungan yang kumuh”; ketiga, “kelakuan
keji yang dipertunjukkannya sungguh memuakkan.” Rasanya ketiga makna yang mirip
itu telah lama membebani kultur Indonesia modern, apakah itu dalam politik, ekonomi, sosial, dan moral.
Ke mana pun kita bergerak, budaya kumuh itu sangat dirasakan
dan terus dipergunjingkan orang dari desa sampai ke
kota . Di kedai-kedai kecil di perkampungan,
di atas pesawat, di hotel-hotel mewah, dalam simposium dan seminar, bahkan di
dangau-dangau sawah, kekumuhan itu tetap menjadi topik pembicaraan. Memang baru
pada tingkat “pembicaraan,” perbaikannya pasti memerlukan waktu lama, sampai
bangsa benar-benar menjadi bangsa siuman. Setidak-tidaknya, kita masih punya
warga yang muak dengan segala bentuk kekumuhan ini, sekalipun tidak tahu cara
bagaimana yang efektif untuk terlepas dari cengkeramnnya. Sungguh sulit sekali.
Diperlukan energi eksra dan stamina spiritual yng prima untuk melawannya.
Sekarang ini masih saja ramai dibicarakan tentang jaksa yang
tertangkap tangan saat menerima sogok, anggota DPR yang idem dito, kapolsek
yang “nyabu”, ujian yang bocor, si anu yang selingkuh dan tanpa rasa malu malah
digelar dalam acara tv, dan 1001 contoh kumuh yang tidak pernah kering untuk
diungkap. Kita sangat kaya dengan bermacam corak kekumuhan ini. Ketika KPK
hendak menggeledah ruang kerja anggota DPR, Bung Agung Laksono, ketua dewan,
tampil ke muka untuk melawannya. Bahkan ada anggota DPR yang mengusulkan agar
KPK dibubarkan saja karena dinilai sudah overacting. Tetapi tampaknya KPK tetap
saja bergerak tanpa menghiraukan perlawanan yang datang bertubi-tubi itu.
Sebagai salah seorang yang turut membidani lahirnya pimpinan KPK yang sekarang
ini, pesan saya tunggal: terus saja bergerak, tetapi jangan sampai tebang pilih.
Menegakkan hukum, riskonya memang besar: dicaci-maki, dimusuhi, bahkan tidak
mustahil dibunuh.
Dalam lingkungan budaya kotor, mesum, dan keji, kejahatan
merajalela, aparat penegak hukum seperti tidak berdaya, uang maha kuasa. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa sebagian aparat penegak hukum itu telah pula bergelimang
dan larut dalam budaya kumuh itu dan bahkan bersahabat dengan penjahat, demi
uang. Oleh sebab itu anda jangan terlalu berharap masalah BLBI akan tuntas
dalam beberapa tahun ini, jika pimpinan negara tetap saja dalam keraguan untuk
bertindak, sementara sebagian aparat penegak hukum tidak bisa membebaskan
dirinya dari lingkungan yang keji dan kumuh itu. Pada dasa warsa pertama abad
ke-21, tingkat peradaban
Indonesia
memang baru sampai di situ.
Lalu, kepada siapa bangsa ini harus mengadu? Tidak kepada
siapa-siapa, kecuali kepada kekuatan moral yang masih tersisa dalam kultur
kita. Kita jangan tenggelam dalam keputusasaan. Orang baik masih ada di
mana-mana, sekalipun surga dan neraka juga
bertetanga. Inilah dunia Bung. Kita tidak bisa lari dari lingkungan yang serba
kusam itu. Usul fiqh mengajarkan tentang “akhaffu al-dhararain” (pilih yang
paling ringan daya rusaknya), pada saat kita dihadapkan kepada lingkungan
budaya yang busuk. Jelas tidak selalu mudah. Pada sebuah unit kerja misalnya,
seseorang yang masih berupaya bertahan dalam idealisme, bisa saja tersingkir,
disisihkan oleh penganut filosofi mumpungisme, jika tidak sekarang, kapan lagi.
Tokh sebagian wakil rakyat, sebagian aparat penegak hukum, jangan ditanya lagi pengusaha
hitam, telah lama bergelimang dalam kubangan yang keruh-pekat ini. Pamor sementara
kiyai pun sudah merosot drastis karena rebutan posisi kekuasaan. Sekali agama
dijadikan alat pembenar kekuasaan, risikonya hanya satu: kerusakan. Al-Qur’an
menggunakan istilah al-fasād fī al-ardh (kerusakan di muka bumi). Korupsi
adalah salah satu bentuk kerusakan yang terparah di
Indonesia . Yang rumit adalah bahwa
para perusak itu merasa berbuat baik dan dipercaya pula oleh sebagian orang
sebagai manusia baik. Mereka sepintas lalu seperti layaknya para dermawan,
semata-mata untuk menyembunyikan prilaku jahatnya. “Lā tufsidū fī al-ardh, qālū
innamā nahnu mushlihūn”/Janganlah kalian melakukan kerusakan di muka bumi,
jawab mereka: “Kami justru adalah orang-orang yang membangun perbaikan.” (Al-Baqarah: 11).
Saya yakin bahwa bangsa ini masih bisa dibenahi dengan
syarat agar orang-orang baik dan berani harus ke luar kandang dan terus
berteriak: hentikan kerusakan, hentikan kebinasaan. Jihad melawan kerusakan
adalah jihad sejati. Jangan biarkan bangsa ini menjadi puing peradaban!
(Untuk Gatra, minggu kedua Mei 2008)